.: Dengan Menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang :.

pak mario teguh

profilku

Sabtu, 13 Februari 2010

Pelatihan Tehnik Cerita

Pelatihan Tehnik Cerita 13-februaruari 2010 bersama kak Wuntat We-Es MEMAHAMI BERBAGAI ASPEK-ASPEK BERCERITA Di Inggris konon pernah diadakan penyebaran angket kepada orang-orang dewasa. Kepada mereka ditanyakan pada saat apa mereka benar-benar merasa bahagia di masa kanak-kanak dulu. Jawaban mereka : “Pada saat orang tua mereka membacakan buku atau Cerita” Apabila pertanyaan yang sama diajukan kepada orang-orang dewasa di Indonesia, saya kira jawabannya tak akan jauh berbeda. Bahkan, khusus mengenai cerita, sampai orang sudah dewasapun masih tetap menggemarinya. Tengoklah obrolan kita juga akan semakin ‘renyah’ bila kita saling bercerita dengan penuh semangat. Cerita memang ‘gurih’. Semua orang tak pandak usia, menyukainya …… Cerita atau dongeng, sih? Lazimnya memang orang lebih banyak mengaitkan dongeng dengan cerita-cerita klasik atau cerita rakyat, atau cerita-cerita fiktif dengan latar cerita yang berbau ‘zaman dahulu kala’. Tidak heran bila ceritanya banyak dimulai dengan kata-kata klasik : pada zaman dahulu kala …., Dulu, disuatu desa…, dan lain-lain. Untuk cerita-cerita rakyat yang sudah sangat terkenal kita biasa mengenalnya sebagai legenda. Sedangkan cerita pengertiannya lebih luas, mencakup segala macam, baik yang ber-setting masa lalu, masa kini, bahkan mungkin masa yang akan datang (cerita futuristik). Cerita juga mencakup kisah-kisah sejarah yang benar-benar pernah terjadi maupun cerita-cerita rekaan, cerita fiktif. Baiklah, agar terasa lebih luas cakupannya, untuk selanjutnya saya akan lebih banyak memakai istilah ‘cerita’ saja. Bercerita adalah metode kominikasi universal yang sangat berpengaruh kepada jiwa manusia. Bahkan dalam teks kitab sucipun banyak berisi banyak sekali cerita-cerita, sebagai diulang-ulang dengan gaya yang berbeda. Tuhan memang mendidik jiwa manusia menuju keimanan dan kebersihan rohani, dengan mengajak manusia berfikir dan merenung, menghayati dan meresapi pesan-pesan moral yang terdapat dalam kitab suci, Karena Dia adalah dzat yang Maha tahu akan jiwa manusia, mengetuk hati manusia antara lain dengan cerita-cerita. Karena ini adalah metode yang sangat efektif untuk mempengaruhi jiwa manusia. Cerita yang berkesan memang selalu menarik perhatian manusia. Mengingat begitu besarnya perhatian Tuhan pada metode bercerita ini, tentu terbersit pertanyaan dihati kita, mengapa metode cerita itu efektif sekali ? jawabannya tidak sulit. Pertama, cerita pada umumnya lebih berkesan daripada nasehat murni, sehingga pada umumnya cerita terekam jauh lebih kuat dalam memori manusia. Cerita-cerita yang kita dengar dimasa kecil masih bisa kita ingat secara utuh selama berpuluh-puluh tahun kemudian. Kedua, melalui cerita manuasi diajar untuk mengambil hikmah tanpa merasa digurui. Memang harus diakui, sering kali hati kita tidak merasa nyaman bila harus dikhotbahi dengan segerobak nasehat yang berkepanjangan. Kita malah merasa dongkol. Apalagi bila nasehat itu nadanya cenderung merendahkan harga diri kita.
Uraian diatas menggambarkan bahwa cerita sangat erat kaitannya dengan dunia pendidikan. Konsekwensinya, setiap pendidik yang peduli pada pembentukan kepribadian yang luhur, harus ‘merasa ikut diperintah’ oleh Tuhan untuk banyak-banyak bercerita, sebagaimana Tuhan memerintahkannya kepada para Rasul . Terlebih-lebih bagi para Ibu, yang memang memiliki posisi strategis sebagai kaum pendidik. Saya kira, secara demikian saya berani mengharuskan kepada setiap Ibu untuk belajar bercerita. Penguasaan terhadap keterampilan ini sangat urgen bagi Ibu, terutama dalam menjalankan peran pokoknya sebagai pendidik generasi. A. Fungsi dan manfaat Cerita Kedudukan strategis cerita dalam dunia pendidikan, termasuk menurut sudut pandang moralitas, telah tergambar dengan amat jelas diatas. Cerita memang banyak sekali manfaatnya bagi anak-anak. Paling tidak cerita mempunyai beberapa fungsi penting antara lain : 1. Sebagai sarana kontak batin antara pendidik (termasuk orang tuanya) dengan anak didik. 2. Sebagai media untuk menyampaikan pesan-pesan moral atau nilai-nilai ajaran tertentu. 3. Sebagai metode untuk memberikan bekal kepada anak didik agar mampu melakukan proses identifikasi diri maupun identifikasi perbuatan (akhlaq). 4. Sebagai sarana pendidikan emosi (perasaan) anak didik 5. Sebagai sarana pendidikan fantasi/imajinasi/kreativitas (daya cipta) anak didik. 6. Sebagai sarana pendidikan bahasa anak didik 7. Sebagai sarana pendidikan daya pikir an anak didik 8. Sebagai sarana untuk memperkaya pengalaman batin dan khasanah pengetahuan anak didik. 9. Sebagai salah satu metode untuk memberikan terapi pada anak-anak yang mengalami masalah psikologis. 10. Sebagai sarana hiburan dan pencegah kejenuhan. Melalui cerita-cerita yang baik, sesungguhnya anak-anak tidak hanya memperoleh kesenangan atau hiburan saja, tetapi mendapatkan pendidikan yang jauh lebih luas. Bahkan tidak berlebihan bila dikatakan bahwa cerita ternyata menyentuh berbagai aspek pembentukan kepribadian anak-anak. Cerita secara faktual erat sekali hubungannya dengan pembentukkan karakter, bukan saja karakter manusia secara individual, tetapi juga karakter manusia dalam sebuah bangsa. Tidak heran bila banyak pakar kebudayaan yang menyatakan bahwa nilai jati diri, karakter dan kepribadian sebuah bangsa, dapat dilihat dari cerita-cerita rakyat yang hidup dibangsa itu. Kalau begitu, jelas bercerita bukanlah sesuatu yang berakibat sederhana. Cerita berpengaruh amat besar dalam jangka panjang, sampai-sampai dikatakan menjadi faktor dominan bagi bangunan karakter manusia disuatu bangsa. B. Jenis-jenis Cerita Sebelum seseorang bercerita, ia harus memahami terlebih dahulu jenis cerita apa yang hendak disampaikannya. Memang, cerita banyak sekali macamnya. Tentu saja masing-masing jenis cerita mempunyai karakteristik yang berbeda. Oleh karena itu, agar kita dapat bercerita dengan tepat, kita terlebih dahulu harus menentukan terlebih dahulu jenis ceritanya. Pemilihan jenis cerita antara lain ditentukan oleh : 1. Tingkat usia pendengar 2. Jumlah pendengar 3. Tingkat heterogenitas (keragaman) pendengar 4. Tujuan penyampaian materi 5. Suasana acara 6. Suasana (situasi dan kondisi) pendengar dan sebagainya. Jenis-jenis cerita dapat dibedakan dari berbagai sudut pandang. Dari sudut pandang itulah kita dapat memilah-milah jenis ceritanya. Dibawah ini akan diuraikan sebuah bagan sederhana mengenai berbagai sudut pandang dan jenis-jenis ceritanya : 1. Berdasarkan Pelakunya a. Fabel (cerita tentang dunia binatang) dan dunia tumbuhan b. Dunia benda-benda mati c. Dunia manusia d. Campuran/kombinasi 2. Berdasarkan Kejadiannya a. Cerita sejarah (tarikh) b. Cerita fiksi (rekaan) c. Cerita fiksi sejarah 3. Berdasarkan Sifat Waktu Penyajiannya a. Cerita bersambung b. Cerita serial c. Cerita lepas d. Cerita sisipan e. Cerita ilustrasi 4. Berdasarkan Sifat dan Jumlah Pendengarnya a. Cerita Privat 1). Cerita pengantar tidur 2). Cerita lingkaran pribadi (individual atau kelompok sangat kecil) b. Cerita Kelas 1). Kelas kecil (s.d. ± 20 anak) 2). Kelas besar (s.d. ± 20 - 40 anak) c. Cerita untuk forum terbuka 5. Berdasarkan Teknik Penyampaiannya a. Cerita langsung/lepas naskah (direct - story) b. Membacakan cerita (story-reading) 6. Berdasarkan Pemanfaatan Peraga a. Bercerita dengan alat peraga b. Bercerita tanpa alat peraga Sekali lagi, pemilihan jenis cerita diatas sangat berpengaruh pada teknik penyajiannya. Oleh sebab itu, bila penyajian cerita kita ingin mencapai sasarannya, kita sejak semula harus mempertimbangkannya secara seksama. Sebab, masing-masing jenis cerita membutuhkan teknik, gaya dan pendekatan yang berbeda. Selain itu, pemahaman yang mendalam akan jenis dan karakter pendengar (audience) juga sangat dibutuhkan. C. Faktor-faktor Pokok Cerita Untuk mencapai keberhasilan dalam bercerita ada dua faktor pokok yang harus diperhatikan oleh setiap pendidik yang akan bercerita, yaitu : 1. Naskah/skenario atau setidaknya sinopsis (kerangka) 2. Teknik penyajian Untuk lebih jelasnya kedua faktor pokok diatas dapat diuraikan secara lebih lengkap sebagai berikut : 1. Menyiapkan naskah cerita a. Dari sumber cerita yang telah ada Seorang pendidik yang akan bercerita pasti harus menentukan terlebih dahulu gambaran jalan ceritanya. Ia bisa saja mengambil dari buku-buku, majalah atau komik-komik tertentu. Bila langkah ini yang diambil maka dikatakan bahwa pendidik itu menggunakan sumber cerita yang sudah ada. Tentu saja cerita yang dipilih harus sudah dipertimbangkan masak-masak. Apakah cerita itu tepat ? Apakah cerita itu mempunyai bobot dan greget yang kuat ? Apakah cerita itu memberikan ruang gerak yang luas kepada pencerita untuk mengembangkan teknik penyajiannya ? Apakah cerita itu alurnya pas, tidak terlalu singkat dan tidak terlalu panjang ?. Boleh jadi ada naskah cerita yang perlu diperkaya adegannya, perlu diperdalam nilai konfliknya, atau perlu dimodifikasi/diubah ending-nya, dan sebagainya. Nah, bila sudah yakin benar atas pilihan ceritanya, maka seorang pencerita harus melanjutkannya dengan langkah-langkah sebagai berikut : (agar lebih lengkap langkah pertama disebutkan kembali) 1). Memilih naskah cerita yang tepat 2). Mengubah naskah itu, dari naskah dengan bahasa tulis menjadi naskah yang siap dibacakan secara lisan (naskah dengan bahasa lisan). Ingatlah, naskah itu tidak hanya harus bagus untuk dibaca, tetapi harus menarik untuk dibacakan. 3). Membaca naskah baru itu berulang-ulang sehingga pencerita yakin bahwa dirinya benar-benar menguasai alur/plot cerita (Nama-nama tokohnya juga jangan sampai lupa). 4). Menyiapkan bumbu-bumbu cerita, bila perlu tertulis dalam naskah Untuk jenis cerita langsung (direct story) seorang pencerita yang berpengalamanpun biasanya melakukan prosedur yang sama, meskipun prosedur (2) dan (4) tidak dilakukan secara khusus. ia cukup melakukannya dialam imajinasinya sendiri. Tetapi untuk jenis cerita dengan membaca naskah (story reading) prosedur diatas mutlak diperlukan, terutama bagi pemula. Prosedur. (5) tetap penting untuk pembacaan cerita (story reading) sebab bila pembaca cerita telah setengah hafal, maka ia akan terhindar dari pembacaan cerita yang tersendat-sendat, salah baca, salah interpretasi atas sifat adegan ternyata kurang mendapat respon positif dan pendengarannya, karena pembaca cerita kurang menguasai segi-segi detai dari penyajian cerita tersebut. Untuk menghindari kesalahan interpretasi, sebaliknya naskah cerita diberi tanda-tanda khusus (misalnya digaris bawahi, distrabilo boss, dan sebagainya) atau penulisan naskahnya dirancang mirip naskah drama. b. Mengarang Cerita Sendiri Bila seorang pencerita berkehendak untuk membuat naskah sendiri, maka yang terpenting ia harus menentukan terlebih dahulu alur atau plot cerita. Bisa dalam bentuk karangan/bagan alur/plot cerita atau sinopsis, bisa pula tertulis secara lengkap/detail. Bila ditulis secara lengkap, sebagaimana tergambar diatas, harus ditulis dengan gaya bahasa lisan. Selanjutnya prosedurnya relatif sama dengan prosedur diatas. Yang penting alur/plot cerita harus benar dikuasai. 2. Teknis Penyajian Bila faktor naskah ‘beres’, maka faktor kedua yang akan menentukan berhasil tidaknya seseorang dalam bercerita adalah faktor teknis penyajiannya. Seorang pencerita perlu mengasah keterampilannya dalam bercerita, baik dalam olah vokal, olah gerak, ekspresi dan sebagainya. Seorang pencerita harus pandai-pandai mengembangkan berbagai unsur penyajian cerita sehingga terjadi harmoni yang tepat. Secara garis besar unsur-unsur penyajian cerita yang harus dikombinasikan secara proporsional adalah sebagai berikut : (1) Narasi (2) Dialog (3) Ekspresi (terutama mimik muka) (4) Visualisasi gerak/Peragaan (acting) (5) Ilustrasi suara, baik suara lazim maupun suara tak lazim (6) Media/alat peraga (bila ada) (7) Teknis ilustrasi lainnya, misalnya lagu, permainan, musik, dan sebagainya. Untuk mampu menguasai aspek-aspek keterampilan teknis dari unsur penyajian cerita diatas tentu saja membutuhkan persiapan yang baik. Selain itu, keluasan dalam bercerita sehingga berbagai unsur diatas dapat tersaji secara padu hanya dapat dikuasai dengan pengalaman dan latihan-latihan yang tekun. III KEMAMPUAN UMUM A. Totalitas Apabila kita ingin bercerita dengan baik dan menarik, maka kita membutuhkan totalitas dalam penyampaiannya, karena totalitas merupakan karakter sukses suatu penampilan. Jika kita tampil bercerita tetapi ragu-ragu, malu-malu atau setengah hati, maka akan berlakulah hukum Stimulasi dan Respon, artinya stimulasi pencerita sangat menentukan respon audiens, sebagai contoh jika kita semangat maka respon anak-anak juga akan semangat, namun jika kita kurang antusias maka respon anak-anak dapat dipastikan juga kurang antusias. Memang totalitas ini sangat dipengaruhi modal dasar kita, yaitu rasa percaya diri, sedangkan rasa percaya diri ini sangat dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman batin seseorang semasa hidupnya, dan secara khusus ditunjang jam terbang dalam bercerita. Minder merupakan aral totalitas penyampain cerita, sebgaimana diatas ia sangat dipengaruhi pengetahuan dan pengalaman pematangan pribadi, ditambah jam terbang dalam bercerita. Kadang kala kondisi mental seseorang yang sedang dialami, juga menjadi sebab menurunnya kualitas mental seseorang, sehingga tidak dapat tampil secara total, sebagai contoh kondisi stress yang dirasakan seseorang akan menurunkan mood dalam penampilannya. Biasanya hambatan terbesar memang hambatan mental seperti ini, bisa jadi seseorang telah memiliki materi cerita yang baik bahkan unggul, namun cerita tersebut menjadi tidak menarik dinikmati karena penyajian yang tidak menarik, ada baiknya kita selalu melakukan olah batin kita sehingga bukan mood yang menggendalikan kita, tetapi kitalah yang mengendalikan mood tersebut. Bagaimanakah cara mengantisipasi kegugupan akibat tidak percaya diri tersebut akan kami bahas pada bab tersendiri. B. Komunikasi dan bahasa Pada prinsipnya menuturkan cerita yang baik adalah tersampaikannya tujuan dalam bercerita, atau dengan kata lain pesan dari cerita tersebut dapat diterima dengan baik oleh anak-anak. Maka ketrampilan dalm berkomunikasi harus dikuasai oleh sang pencerita, sekaligus ia dapat mengatasi aral komunikasi yang mengakibatkan gagalnya transformasi nilai dan pengetahuan yang merupakan pesan dalam cerita. Ketrampilan yang dimaksud dalam berkomunikasi adalah 1. Ketrampilan membangun kesan pertama: dengan apa anda akan membangun kesan dan harapan terhadap sajian cerita yang akan anda sampaikan? Apakah melalui ucapan-ucapan yang apresiatif, antusiasme, cara berjalan, keramahan, kelucuan, kostum, kefasihan, atau kejutan yang dapat secara langsung memukau para pendengar? Jangan sampai justru kita melakukan hal-hal yang membuat audiens kurang simpatik, seperti pernyataan tidak siap karena mendadak, masih dalam tahap belajar, penampilan yang kurang pantas, atau mengulang-ulang penyampaian salam dikarenakan kurangnya respon kurang semangat. 2. Membangun Kontak visual: Banyak orang bilang bahwa mata adalah jendela hati, maka apabila kita hendak menguasai hati seseorang, sudah semestinya kita memanfaatkan kontak mata dengan orang tersebut. Secara etika memandang mata secara langsung seringkali terkesan kurang sopan apabila dilakukan dengan sembrono. Maka perlu teknik tersendiri dalam melakukan kontak mata tersebut. Dalam berbagai teori rethorika, dikenal istilah view of bussines, dimana kontak visual kita adalah pada bagian tengah dahi para audiens. Seandainya kita memandang secara langsung, adakalanya mental kita menjadi terganggu, hal ini diakibatkan adanya beberapa tipologi audiens dalam kontak visual dengan kita, yaitu tipe respect/hormat, tipe tidak respect, dan tipe reckless/sembrono. 3. Tipe respect adalah mereka yang antusias, hormat dan tulus dalam mengikuti cerita kita, dari sorot matanya tampak bersahabat, cerah, dan tidak menunjukkan sikap bermusuhan kepada kita, sebaliknya tipe tidak respect menunjukkan sikap apatis bahkan memusuhi, sorot matanya tajam dan menunjukkan sikap tidak menghormati kita. Sedangkan tipe reckless menunjukkan sikap genit, menggoda dan seringkali mencari-cari perhatian lebih dari kita. 4. Membangun kontak batin: Bercerita bukan kegiatan instruksional yang kering dengan komunikasi batiniah antara pencerita dengan audiens, artinya kegiatan ini bukan hubungan antara lisan dengan telinga saja, namun lebih dari itu terdapat motivasi yang menggerakkan sang pencerita untuk menuturkan cerita tersebut agar para audiensnya memahami dan kemudian mau berubah. Karenanya, antara hati dan lisan pencerita harus diselaraskan, bahkan kekuatan ruhani merupakan basis komunikasi tersebut. Cerita tidak baik sekedar menarik atau waton ndagel, namun cerita tersebut adalah sesuatu yang benar-benar menggerakkan hati. Dalam bahasa musikal terdapat istilah entrainment yang dapat diartikan arah gerak atau arah sentuh; apabila ingin merubah pikiran maka dilakukan dengan pikiran (pendekatan kognitif), apabila ingin menggerakkan/menyentuh hati mak haruis dengan hati pula (pendekatan afektif), dan apabila ingin merubah kebiasaan maka dengan pembiasaan pula.(pendekatan habituasi). Apabila spiritualitas dan hati yang menggerakan, mak vibrasinya akan sampai ke ruhani dan hati pendengarnya. 5. Bahasa yang mudah dimengerti: Bahasa yang digunakan dalam bercerita sebaiknya adalah bahasa sederhana dan dapat dimengerti audiensnya (efektif). Apabila kita bercerita dihadapan anak-anak maka kita berbicara yang sesuai dengan bahasa anak-anak dan dari sudut pandang anak. Anak-anak dalam perkembangan daya pikirnya masih sangat didominasi dengan kemampuan berpikir secara kongkrit. Sehingga mereka kurang mampu menangkap makna dari hal-hal yang abstrak, sebagi contoh istilah “Anak yang sholeh” adalah abstrak , lebih baik diganti dengan anak yang rajin sholat, senang mengaji, taat pada ayah ibu serta sering juara. Demikian pula dengan istilah-istilah seperti munafik diganti suka bohong, kafir diganti tidak patuh atau tidak beragama Islam, ghaib diganti tidak terlihat mata, baik hati diganti suka menolong, berduka cita diganti dengan sedih dan menangis, bahagia diganti senang sekali, dan sebagainya. Hindari pula istilah populer yang membuat anak-anak melongo karena ketidak tahuannya yang menjadikan mereka kebingungan seperti istilah modern, globalisasi, riset, relevan, signifikan, statement, pembangunan dan sebagainya. 6. Keterlibatan anak dalam cerita: Suasana hangat dalam bercerita dapat menjadi hangat, apabila kita mampu melibatkan anak dalam cerita tersebut, hal ini dapat dilakukan dengan meminjam nama beberapa anak untuk menjadi nama tokoh-tokoh yang baik dalam cerita tersebut. Namun jangan sekali-kali peminjaman nama tersebut untuk digunakan pada tokoh dalam cerita, yang memiliki personifikasi buruk seperti penjahat, hantu dan binatang buas misalnya. Melakukan jeda dalam cerita juga dilakukan dalam bercerita, hal ini dilakukan apabila durasi cerita ternyata cukup panjang, sehingga membutuhkan stimulasi tertentu yang dapat mempertahankan rentang konsentrasi dan perhatian mereka, sehingga tetap konstan. Hal ini dapat dilakukan dengan bertanya jawab, doa bersama, aktivitas fisik berupa menirukan adegan tertentu dalam cerita tersebut, seperti burung terbang, raungan harimau, teriakan, bergulingan, menembak dan sebagainya. C. Mimik / Ekspresi Ekspresi adalah memunculkan susana dan respon emosional melalui kata-kata atau wajah. Cerita akan semakin hidup dan menghanyutkan emosi pendengarnya apabila sang pencerita dapat mengeksplorasi mimik muka dan kata-kata yang memiliki muatan emosional yang kuat, ekspresiasi ini merupakan suatu bentuk penghayatan dalam penceritaan, yang pada gilirannya dapat membantu anak-anak untuk menghayati cerita pula. Seorang pencerita sangat dianjurkan untuk selalu melatih ekspresi senang, bahagia, sedih, murung, puas, histeris, terbahak-bahak dan berbagai bentuk ekspresiasi lainnya. Karena melalui ekspresiasi inilah pematangan kecerdasan emosi dan spiritualnya. D. Olah Gerak Diantara karakter kehidupan anak-anak adalah motorik atau banyak bergerak, dengan pengertian mereka tampak lebih dinamis dalam mengeksplorasi otot mereka dibandingkan orang yang lebih dewasa. Maka aksiomanya mereka menyukai pencerita yang atraktif, karena gerak atraktif tersebut merupakan unsur entertaint yang penting dalam penyajian cerita. Dalam langgam/gaya cerita dikenal ada bebarapa teknik gerak kecil dan gerak besar. Gerakan kecil meliputi keluwesan cara berdiri, gerak tangan, kepala dan tubuh pada saat berdiri (standing) di suatu area panggung (stage), sedangkan gerak besar meliputi eksplorasi zona gerak di panggung dan menirukan adegan yang kompleks seperti cara berjalan, adegan pertarungan silat, adegan perang, terjatuh, tidur atau berlari-lari, ketakutan bahkan eksplorasi zona pendengar. Para pencerita yang mampu mengeksplorasi gerak ini biasanya dapat lebih menarik perhatian anak-anak, semakin piawai melakukannya maka akan semakin menarik pula cerita tersebut, namun kita tetap harus mengingat bahwa dalam bercerita komposisi pendekatan auditif melalui kata-kata lebih dominan dan prioritas dibandingkan pendekatan visual dalam bercerita, agar bercerita tetap merupakan komunikasi dengan bahasa tutur, bukan pentas teather, tarian, monolog atau phanthomin. Apalagi pula bercerita identik dengan upaya mendidikan watak kepribadian, maka boleh saja kita mengeksploarasi gerak, namun tidak sampai mengurbankan citra diri (gezagt) kita sebagai pendidik, dikarenakan ketidak mampuan mengontrol diri dalam melakukan gerakan-gerakan atraktif dalam bercerita. E. Olah Vokal Vokal dapat dikatakan baik apabila memiliki kualiats-kualitas berikut ini: 1. Power / tenaga Power adalah kekuatan suara yang mampu didengar dan menggerakkan anak-anak, power ini berasal dari suatu teknik mengeluarkan vokal secara lepas. Melatih suara agar memiliki kualitas ini dapatdilakukan dengan mengucapkan huruf-huruf vokal (A,I,U,E,O) dengan variasinya secara lepas, dapat juga kombinasikan dengan melatih panjang nafas kita dengan mengucapkan huruf vokal tersebut dengan cara dipanjangkan. 2. Volume / Besar-kecil Besar kecil suara merupakan kualitas vokal yang penting, karena volume merupakan modal kualitas irama/rhythm suara. Variasi dan kombinasi besar kecil atau lirih keras suara akan membuat penuturan cerita menjadi lebih nikmat. 3. Resonance / Gema Gema merupakan salah satu kualitas vokal yang cukup menentukan perasaan fun, fresh, dan enjoy dalam mendengarkan cerita. Karena gema di akhir kata-kata ini menimbulkan suasana bersahabat. Karena suara tanpa gema juga terkesang angkuh dan kering. Namun kita perlu untuk mengingat pula, apabila kita menggunakan resonance dalam berbicara tidak boleh terlalu dipanjangkan, karena justru menjadi tidak nyaman didengarkan, dan kita justru terkesan menjadi lebih kekanak-kanak dibandingkan anak-anak. Jadi resonance suara ini kita atur secara proporsional. 4. Rhythm / Irama Irama yang monoton akan menjadikan cerita kita berakhir su’ul khatimah , karena anak-anak cenderung bosan dan kemudian tidak memperhatikan cerita yang kita sampaikan. Dalam langgam cerita, sebenarnya tidak terikat dengan aturan tinggi, sedang atau rendah suara. Ada baiknya kita membiasakan memvariasikan ketinggian atau rendah suara tersebut secara acak, sehingga irama penuturan menjadi menarik dan penuh kejutan.karena kejutan demi kejutan tersebut akan menimbulkan membuat anak-anak tetap terjaga tingkat perhatiannya kepada kita. 5. Pitch / ketegangan Terdapat berbagi tipe pita suara, ada yang tebal, tipis dan selainnya. Biasanya ketegangan pita suara ini sangat dipengaruhi latihan pernafasan kita. Maka para pencerita sangat dianjurkan untuk menyadari strategi yang tepat berdasarkan karakter pita suaranya, untuk kemudian melakukan kontrol ketegangan pita suara agar tidak fals, slip atau pecah. 6. Inflection / Perubahan warna Suara yang dapat berubah menjadi berbagai warna dan karakter, merupakan salah satu kualitas yang menjadi impian para pencerita, sehingga latihan-latihan vokal lebih diprioritas untuk menguasai kualitas ini. Menurut para pakar bercerita, kemampuan infleksi ini sebenarnya merupakan anugrah tersendiri dari yang maha kuasa, namun kualitas suara yang satu ini dapat dipelajari siapa saja, karena pada dasarnya secara anatomis, umumnya tidak terdapat perbedaan struktur mulut, lidah, gigi dan organ tubuh yang secar kompleks menimbulkan suara manusia. Paling tidak seorang pencerita memiliki tiga warna suara yang berbeda, yaitu suara kecil, besar dan suara asli. Karena unsur dialog dalam cerita dapat divariasikan dari ketiga suara tersebut. Syukur-syukur dapat meningkatkan kemampuan olah suara ini dengan menirukan suara-suara binatang, kendaraan, alat-alat elektronik, suara tokoh kartun, bahkan dapat mnemukan suara-suara unik yang dapat memperkaya cerita yang disampaikannya. Namun apabila terdapat keterbatasan dalam merubah warna suara ini, jangalah berkecil hati, karena tanpa harus memiliki lisan yang Polyphonic sekalipun, cerita selalu ingin dirindukan anak-anak, percayalah. 7. Speed / kecepatan Kita perlu lebih bijaksana dalam mengatur kecepatan dalm berbicara, artinya kita perlu untuk proporsional. Berbicara terlalu cepat akan menjadikan anak-anak sulit memahami arti dan maksud dari kata-kata tersebut, sedangkan terlalu lambat menjadikan anak-anak bosan. 8. Cluster / tipe-jenis Cluster dapat diartikan pengelompokan suara berdasarkan tipe atau jenis suara, dikalangan pria dikenal tipe bass, bariton dan tenor. Sedangkan pada wanita dikenal tipe sopran, mezosopran dan alto. Setiap orang tentunya memiliki suara yang termasuk dalam kategori tersebut, tentu saja hal ini merupakan modal personal yang dapat dioptimalkan secara khas. 9. Clarity-Microphonic / Jernih-merdu Suara yang jelas dan jernih suara nyaman didengarkan, kemudian pesan yang disampaikan lebih mudah dimengerti pendengarnya. Biasanya kejernihan dan kemerduan suara ini merupakan hasil latihan terus menerus untuk memperhalus suara dan merawat suara dari hal-hal yang menggangu kualitas jernih dan merdu suara ini. Disarankan oleh para ahli vokal menjaga pola konsumsi makanan kita, dari berbagai makanan yang banyak mengandung minyak, terlalu pedas dan banyakl mengandung getah. Demikian pila dengan menjaga kondisi fisik dan psikis dari kelelahan fisik maupun mental. III ASPEK KREATIF BERCERITA Ibarat seorang koki, cita rasa makan tidak saja ditentukan oleh kuallitas harga dan bahan makanan, boleh saja hal itu menentukan, namun yang pasti ada faktor lain yang memperngaruhinya, diantaranya adalah formula dan kemasan yang apik dan artistik, kedua hal inilah yang akan sangat mempengaruhi selera doyan makan konsumennya. Demikian pula dengan cerita, kepiawaian penutur cerita sangat mempengaruhi tingkat doyan dongeng bahkan kerakusan menikmati cerita. Maka dalam tulisan ini tiada salahnya kami menyajikan beberapa aspek kraativitas dalam bercerita, yang kami jumput dari pengalaman teknis bertutur cerita, diantaranya adalah: A. Teknik Menceritakan Sejarah B. Teknik Menceritakan Fiksi/rekaan C. Teknik mengatasi demam panggung D. Teknik menyatukan perhatian E. Teknik membuka cerita F. Teknik menata alur G. Teknik mencipta konflik. H. Teknik menutup cerita A. Teknik menceritakan sejarah 1. Kuasailah alur cerita, adegan, dialog dari sumber bacaanb yang terpercaya. Bila perlu bacalah berulang-ulang hingga benar-benar dikuasai. Ingatlah, penguasaan terhadap pakem cerita amat esensial pada jenis cerita ini, bila tidak terkuasai kita akan terjebak kepada improvisasi yang merusak. 2. Ceritakan kisah sejarah apa adanya, tanpa bumbu-bumbu cerita yang tidak relevan, jangan bumbui kisah perjuangan yamh agung dengan humor, apabila memang dirasa tidak tepat. 3. Usaha untuk membuat cerita lebih menarik biasanya difokuskan pada unsur suspence, ekspresi, penekanan pada adegan-adegan heroik dan dialog yang kuat. 4. Bagian-bagian cerita yang belum saatnya disampaikan pada usia anak tertentu hendaknya disunting secara bijaksana, tanpa mengganggu keutuhan sejarah.usahakanlah agar cerita yang terlalu bercabang-cabang dapat terangkai dalam satu alur yang padu. 5. Sampaikanlah cerita sejarah pada sekelompok anak yang memang belum pernah mendengarkannya, Bila ada anak yang tahu jalan ceritanya, ingatkan sejak awal agar tidak mengganggu teman-temannya dengan dengan memberi komentar dan tebakan-tebakan, Bila tidak tahan untuk memberi komentar ditengah-tengah cerita, ingatkanlah kembali secara bijaksana. Tegurlah bahwa apa yang diucapkannya itu mengganggu kita, namun tetaplah tersenyum ramah. 6. Ajaklah anak didik kita mengambil hikmah dari kisah itu, berikan motivasi untuk meneladani tokoh dan perbuatan yang mulia, ajaklah mereka menjauhi perbuatan yang tercela. Sebaiknya nasehat yang diselipokan ditengah cerita tidak terlalu panjang. Hall ini akan terasa menjengkelkan bagi anak-anak, hikmah sebaiknya disampaikan pada akhir cerita. B. Teknik Menceritakan Fiksi 1. Satukan perhatian anak 2. Friendship 3. Total : Antusias/bersungguh sungguh 4. Tentukan tujuan dan alur cerita 5. Pilihlah setting awalnya 6. Tentukan tokoh-tokohnya : Protagonis, Antagonis, Tritagonis, Pembantu 7. Munculkan konflik antar tokoh diatas 8. Detailkan cerita/terperinci : Personifikasi tokoh-tokohnya, adegan-adegannya, dialog-dialognya, 9. Dramatisasi/menyangatkan 10. Ilustrasi suara : Lazim, tak lazim 11. Suspence dan Humor 12. Perhatikan situasi dan kondisi 13. Happy ending C. Kiat-kiat mengatasi demam panggung Paling tidak terdapat 10 aktivitas mental maupun fisik yang dapat mengatasi taua paling tidak mengurangi gejala nervous/sindrom demam panggung, tips tersebut adalah: 1. Berlatih sebelum tampil: Janganlah menyepelekan berlatih sebelum bercerita, karena bertutur cerita hakekatnya merupakan sebuah skill tersendiri, apabila semakin banyak berlatih maka akan semakin piawai kita melakukannya. 2. Estimasikan hal-hal positif: sebelum tampil, munculkan citra/gambaran yang indah ketika tampil nanti, hal ini akan memupuk jiwa optimis kita, namun apabila kita justry membayangkan hal-hal negatif penampilan cerita yang akan kita lakukan, maka menimbulkan perasaan pesimis , yang pada gilirannya semakin menghambat rasa percaya diri kita. 3. Berprinsip pada Relaksasi; mengendurkan otot kaku yang diakibatkan keadaan emosi yaitu perasaan gugup perlu dilakukan, dengan melakukan stracting/peregangan otot secara sederhana, dapat juga dengan mendengarkan musik yang mmenimbulkan efek relaks. 4. Bernafaslah dalam-dalam untuk menanggulangi keringat dingin. 5. Lecut percaya diri dengan Sugesti: katakan dalam hati kita “Yakin...Pasti bisa...gampang...enteng...pasti berhasil...sukses dam sebagainya akan menjadi suplemen percaya diri yang sangat besar dampaknya. 6. Siapkan “Tim sukses”; seringkali penampilam kita akan terbantu secara psikis apabila ada beberapa teman yang membantu mengendalikan audiens dan menciptakan suasana komunikatif 7. Siapkan alat bantu; bagi sebagian pencerita alat bantu dapat membantu rasa percaya diri, hal ini dikerenakan alat-alat tersebut dapat membantu memusatkan perhatian, tidak hanya kepada pencerita, namun seringkali focus berpindah kepada alat bantu seperti boneka, gambar, wayang, kain dan lain sebagainya. 8. Singkirkan Penghalang mentalmu !; tidak menjadi masalah seandainya pihak-pihak yang membuat kita menjadi grogi, secara asertif kita ,imta untuk menyingkir terlebih dahulu, karena banyak kasus kegagalan dalam bercerita diakibatkan hal ini. 9. Aspirasi sukses, yakin tanpa halangan! Sudah seharusnya kita menyadari, saat kita bercerita tak adasatu pihakpun yang menghendaki kita gagal dalam bercerita, baik anak-anak, para guru, sesama kader, penonton, wali murid semuanya menginginkan kita sukses dalam bercerita, jadi tak ada lasan kita grogi, justru mereka sangat membantu secara batin serta maklum dengan keterbatasan dan proses yang kita jalani. 10. Berdoa; apabila kita meyakini bila mengajar itu mulia, mendidik itu ibadah sertya bercerita itu mencerahkan jiwa, maka sudah pada tempatnya kita berdoa kepada Tuhan pendidik Hati manusia, agar kita dapat berhasil dalam menyajikan cerita. B. Teknik Menyatukan Perhatian Bercerita tentu tidak dapat kita sampaikan dengan baik, apabila kondisi atau suasana kelasnya tidak kondusif, maka perlu ada upaya dari kita Untuk membuat anudiens terpusat kepada kita, nah…diantara cara-cara yang telah teruji ampuh Untuk menciptakan focus tersebut adalah: 1. Aneka Kreasi Tepuk tangan: anda pernah mendengar tepuk anak sholeh, tepuk istiqamah, tepuk angin mendayu dan sebagainya? ternyata terdapat berbagai macam kreasi permainan tepuk yang teruji efektif untuk menenangkan dan memusatkan perhatian anak sebelum , saat atau sesudah bercerita. 2. Simulasi kunci mulut: permainan “pura-pura” ini sangat baik untuk menenangkan anak ketika akan memulai cerita 3. Ikrar bersama: rupa-rupa ikrar atau janji sebelum mendengarkan cerita, akan menjadi pengikat perhatian audiens dan menciptakan suasana kondusif dalam mengelola kelas. 4. Lomba : Duduk tenang, menjadi patung 5. Yel-yel : Yel-yel penenang seperti; “Ola la la, ole le le, ayo duduk tenang, suara di simpan “ (anak-anak menirukan) terbukti efektif menenangkan anak. 6. Mendekati anak yang gelisah: saat bercerita sebaiknya kita memperluas panggung cerita kita, dengan berjalan mendekat dan berpindah, hal ini akan berdampak perasaan “dekat” 7. Panthomin/Gerakan/tindakan: Lakukanlah suatau gerakan yang merupakan teka-teki, kemudian audiens diminta menebak gerakan apa., teknik ini sangat dapat lebih luas dikembangkan sebagi penarik perhatian. 8. Aba-aba/instruksi untuk tertib dan tenang serta tidak menggangu. 9. Kesepakatan/ tata tertib cerita; buatlah aturan-aturan dalam mendengarkan cerita, intinya adalah mereka merasa mengikatkan diri untuk taat, tertib, tekun dan tuntas dalam mendengarkan cerita dari guru. 10. Siapkanlah Hadiah bagi pendengar cerita yang baik, serta sampailkan adanya hukuman bagi para penggagu ketika cerita, punishment dan reward ini sudah barang tentu harus disesuaikan dengan audiens. C. Teknik Membuka Cerita “Kesan pertama begitu menggoda selanjutnya ….” Satu kalimat yang mengingatkan kita pada iklan komersial salah satu produk di televisi, hal ini mengingatkan kita betapa pentingnya menciptakan kesan pertam atau membuka suatu cerita dengan teknik-teknik yang menggugah. Karena membuka cerita merupakan saat yang sangat menentukan maka membutuhkan teknik yang memiliki unsur sugesti dan entertaint yang kuat pengaruhnya, diantaranya dengan 10 tips membuka cerita berikut ini… 1. Pernyataan kesiapan : “Anak-anak hari ini bu Guru telah siapkan sebuah cerita yang sangat menarik…” dst 2. Potongan cerita: “Pernahkah kalian mendengar kisah tentang seorang anak yang terjebak ditengah banjir, kemudian terdampar ditepi pantai…?” 3. Sinopsis: pernahkah anda menyaksikan tayangan singkat di sebuah acara televisi, yang mana didalam tayangan tersebut merupakan sinopsis dari sebuah film atau sinetron yang akan ditayangkan esok hari?” nah..cerita dapat diiklankan seperti sinetron atau film. Contohnya : “Cerita bu Guru hari ini / esok hari adalah cerita tentang “seorang anak kecil pemberani, yang bertempur melawan raja gagah perkasa perkasa ditengah perang yang besar” (kisah nabi Daud) mari kita dengarkan bersama-sama ! 4. Munculkan Tokoh atau personifikasi “ dalam cerita kali ini ada 4 orang tokoh penting…yang pertama adalah seorang anak yang jago main karate, ia tak kenal takut dengan siapapun…namanya Adiba, yang kedua adalah seorang ketua gerombolan perampok yang bernama Somad, badannya tinggi besar dan bila tertawa..ih mengeekan karena sangat keras…HA. HA..HA..HA..HA somad ini memiliki golok yang sangat besar, yang ketiga seorang ustadz yang bernama Ustadz Umar, wajahnya bersinar cerah dan menyenangkan dipandang mata...dst” 5. Setting tempat: “disebuah desa yang makmur…”, “dipinggir pantai..” “Ditengah Hutan…” “Ada sebuah kerajaan yang bernama ..” “Disebuah Pesantren…” dll 6. Setting waktu “Jaman dahulu kala…” “Jaman pemerintahan khalifah Usman…” ”Tahun 2045 terjadi sebuah tabrakan komet…” “Pada suatu malam…” “Suatu hari…” dll 7. Emosi : Adegan orang marah, menangis, gembira, berteriak-teriak dll 8. Musik & Nyanyian “Di sebuah negeri angkara murka dimulai cerita…(dinyanyikan), atau ambillah ebuah lagu yang popular, kemudian gantilah syairnya dengan kalimat-kalimat pembuka sebuah cerita. 9. Suara tak Lazim atau “Boom” : anada dapat memulai cerit dengan memunculkan berbagai macam suara seperti; suara ledakan, suara aneka binatang, suara bedug, tembakan dll 10. Musik rap dan acapella :Kalimat pembuka disajikan dikemas dalam lagu rap atau, musik yang muncul dari olah suara dari mulut kita D. Teknik menata alur cerita Seringkali alur menjadi salah satu sebab ketidak menarikan cerita yang kita bawakan, terasa monoton dan beku, mungkin kita terbiasa dengan urutan alur cerita yang begitu-begitu saja (stereotype) ada baiknya kita Melepaskan ke-jebakan itu dengan berani melakukan bongkar pasang alur cerita, berikut ini terdapat beberapa opsi penataan alur cerita: 1. ProgresIf : Awal – Tengah - Akhir 2. EpIsodic : Awal – Tengah – Akhir (disajikan secara serial) 3. Flash back / Sorot balik : Akhir – Awal – Tengah – Akhir Contoh: Ada seorang laleki gagah yang ketakutan karena hampir tenggelam, badannya sudah letih berenang di lautan...”Tolong! tolong! Aku hampir tenggelam” siapakah dia adik-adik? Jawabannya dalah.... 20 tahun sebelumnya ada seorang Raja yang bermimpi mahkotanya ditendang oleh seorang bayi...dialah Firaun/Ramses!) 4. Forshadowing : Awal (bayangan) – Awal – Tengah – Akhir Contoh: Suatu hari tejadi gempa bumi yang hebat, terdengar suara gemuruh dari tebing yang longsor....orang desa sumbersari mengungsi ke desa seberang....ternyata ada dua anak kak beradi dari desa sumbersari tadi yang tersesat jauh ke hutan saat menyelamatkan diri mereka ...... 20 tahun kemudian ..... 5. Cerita berbingkai : didalam cerita terdapat tokoh yang bercerita E. Memunculkan KonflIk cerita konflik/masalah yang dihadapi dan menuntut diselesaikan oleh para tokoh dalam cerita merupakan unsur yang penting dan utama, semakin menantang dan unik konflik/masalah tersebut akan audiens semakin tertantang mengikuti cerita tersebut, konflik dalam cerita ini dapat dikreasikan dalam berbagai macam diantaranya: 1. Person against self : seseorang /tokoh protagonais/lakon konflik/melawan keadaan yang ada pad dirinya sendiri, misalnya anak yang tidak penakut berusaha menjadi pemberani, anak yang cacat dan sebagainya. 2. Person against person : tokoh Protagonis melawan tokoh antagonis, biasanya melibatkan tokoh pembantu/tritagonis 3. Person against social : Tokoh protagonis memiliki masalah dengan lawan suatu kelompok 4. Person against nature : seorang tokoh memiliki masalh dengan alam, seperti anak yang tersesat dalam hutam, terjebak dirawa-rawa, selamat dari kecelakaan pesawat yang jatuh di pegunungan dam lain-lain I. Teknik Menutup Cerita pada dasarnya cerita adalah metode yang didominasi pendekatan kognitif atau menalar, maka pencerita yang baik dan trampil adalah mereka yang dapat membantu anak bukan hanya terhibur dan menalar cerita, lebih dari itu dapat membantu audiensnya mengendapkan materi kognitif tersebut kedalam jiwa mereka (afektif) bahkan menyentuh ruhani mereka, sehingga terjadi transformasi nilai pengetahuan dan nilai yang tinggi. Yang pada saatnya akan melahirkan pengertian, silap dan perbuatan yang lekat dengan nilai-nilai luhur tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan cara-cara berikut ini: 1. Tanya jawab: Tanya jawab biasanya berkisar kepada nama tokoh berikut perbuatan baik-buruk yang dilakukan,sehingga teknik ini dianggap kurang dapat menukikkan pesan-pesan yang ada dalam cerita kedalam jiwa audiens. 2. Doa khusus: Teknik ini dapat dilakukan secara pribadi maupun bersama-sama, tentu saja doaisi doatersebiut seputar refleksi dan permohon perubahan sikap dan perilakau lebih baik. 3. Ikrar/Janji untuk berubah menjadi lebih baik 4. Renungan Khusus, dapat berupa membacakan satu ayat suci, hadits, kata mutiara 5. Nyanyian: Tentu saja kita dapat memilih lagu atau nyanyian yang temannya relevan, teknik ini merupakan ending yang indah, serta cukup kuat untuk mengkristalisasikan nikai-niali yang dipelajari selama mendengarkan cerita. 6. Puisi semangat hidup, yang mamiliki kesamaan tema dengan materi cerita 7. Hafalan surat pendek, tentunya yang selaras atau memiliki kesamaan dengan tema cerita 8. Ikrar pro-kontra, audiens di ajak untuk mengikrarkan persetujuannya dan kecintaan pada perbuatan baik yang dilakukan dalam cerita, dan sebaliknya mengikrarkan diri membenci dan tidak akan melakukkan contoh perilaku buruk yang dilakukan tokoh tertentu dalam cerita tersebut. 9. Seandainya aku adalah … maka aku akan…(tokoh protagonis atau antagonis) 10. Role Play:: Ajaklah anak-anak memperagakan sosio drama berdasarkan cerita yang telah didengarkan, hal ini akan lebih menguatkan internalisasi nilai-nilai dalam cerita tersebut 11. Gambar: Menggambarkan salah satu adegan dalam ceritadiatas media kertas. 12. Aku punya pengalaman yang mirip, adakalanya seorang audiens memiliki pengalaman hidup yang mirip dengan cerita kita, maka tiada salahnya apabila kita berikan kesempatan untuk menyampaikan testimoni/kesaksian dihadapan pendengar lainnya, hal ini akan menjadi unsure yang menguatkan internalisasi nilai yang merupakan pesan. 13. Doakan Temanmu ! agar menjadi anak baik seperti tokoh yang baik dan tidak menjadi anak yang buruk seperti dalam cerita, dan seterusnya. Bercerita memang salah satu bagian dari keterampilan mengajar. Sebagai sebuah keterampilan penguasaannya tidak cukup hanya dengan memahami ilmunya secara teoritik saja. Yang lebih penting dari itu adalah keberanian dan ketekunan dalam mencobanya secara langsung. Itulah sebabnya, latihan-latihan tertentu yang rutin sangat dibutuhkan. Yang jelas, keterampilan teknis bercerita hanya dapat dikembangkan melalui latihan dan pengalaman praktik. Nah, akhirnya selamat bercerita !

0 komentar:

Posting Komentar