Free mp3 sholawat, nasyid, musik islami: Album Live Haflah Bersama O.G. Elmira
pak mario teguh
Minggu, 21 Februari 2010
Free mp3 sholawat, nasyid, musik islami: Album Live Haflah Bersama O.G. Elmira
Selasa, 16 Februari 2010
Mengenali Aral Kreatifitas
Lagi pula, untuk jadi kreatif ternyata tidak cukup berbekal skill dan kemampuan kreatif belaka. John G. Young, pengarang buku berjudul Will and Won’t: Autonomy and Creativity Blocks (2002), berkesimpulan bahwa kreatifitas juga membutuhkan kemauan atau motivasi. Mengapa? “Sebab memiliki ketrampilan, bakat, dan kemampuan kreatif tidak otomatis membuat seseorang melakukan aktivitas yang menghasilkan output kreatif. Ia bisa memilih tidak melakukan aktivitas kreatif. Jadi faktor dorongan atau motivasi sangat penting di sini,” tegas Young. Creativity blocks Madhukar Shukla, pengarang buku The Creative Muse: Story of Creativity and Innovation, menyatakan, “Beda antara orang kreatif dan yang tidak hanyalah pada kemampuan orang kreatif dalam menghalau aral (penghalang) kemampuan kreatifitas.” Paparan-paparan tersebut menegaskan bahwa semua orang memiliki karunia kreatifitas. Namun, sekalipun semua orang berpotensi dan punya bakat kreatif, ada penghalang tertentu yang menyebabkan adanya kecenderungan orang yang satu bisa lebih kreatif daripada yang lain. Ini menghantarkan kita pada pertanyaan; bagaimana cara menghilangkan aral atau penghalang-penghalang kreatifitas tersebut? Tentu saja langkah awalnya adalah dengan mengenali anatomi aral kreatifitas. Ringkasnya, aral kreatifitas (creativity block) adalah kondisi internal maupun eksternal (lingkungan) yang menghalangi proses kreatif. Aral internal berasal dari dalam diri individu sendiri dan bisa berbentuk pola pikir, paradigma, keyakinan, ketakutan, motivasi, dan kebiasaan. Ada kalanya seseorang mempunyai bakat-bakat kreatif dan tertantang untuk mengembangkannya. Sayang, lingkungan sekitar bukannya mendukung dan mewadahi, namun malah menghalanginya. Kondisi lingkungan yang menghambat kreatifitas dan ini bisa berupa aral sosial, organisasi, dan kepemimpinan. Secara singkat, pembahasan kedua jenis aral kreatifitas tersebut adalah sbb: Aral pola pikir Dalam konteks kreatifitas, dikenal dua pola berpikir. Pertama adalah pola pikir produktif yang artinya jika dihadapkan pada suatu masalah, seseorang akan berusaha menemukan cara berpikir berbeda, cara pandang baru (sekalipun tidak selalu orisinil), sikap dan perilaku berbeda, merespon dengan cara-cara non konvensional, bahkan unik. Pola semacam inilah yang membuka jalan dan selalu merangsang kreatifitas seseorang. Kedua, adalah pola pikir reproduktif yang artinya jika dihadapkan pada masalah, seseorang akan cenderung merespon dengan cara yang sama, mengulang pola pikir atau cara pemecahan lama yang sudah terbukti berhasil. Itu sebabnya pola pikir reproduktif menjadi salah satu penyebab utama kekakuan berpikir, dan dengan demikian menjadi aral kreatifitas. Seringkali, pola pikir reproduktif berlangsung secara mekanikal atau nyaris otomatis. Dan ini terkondisikan oleh hasil pendidikan model skolastik atau lingkungan yang menuntut cara-cara berpikir praktis dan sangat terstruktur. Sampai pada saat kita mentok dalam upaya pencarian variasi solusi, di titik itulah baru kita sadari keterbatasan pola pikir reproduktif. Aral paradigma Tak beda jauh dengan aral pola pikir adalah aral paradigma. Sebagai cara mempersepsi, memahami, dan menafsirkan dunia sekelilingnya, atau alat untuk melahirkan gambaran batin, paradigma seseorang sangat mempengaruhi kreatifitas. Seorang dengan paradigma anti konflik umumnya kurang menyukai perubahan, atau bahkan membenci perubahan yang lebih dianggap sebagai ancaman terhadap kemapanan daripada dipersepsi sebagai peluang perbaikan. Padahal, kreatifitas seringkali merupakan aktivitas yang melampaui kemapanan. Kreatifitas dapat terlahir atau terstimulasi melalui benturan, persinggungan, percampuran, dan penyatuan berbagai unsur yang berbeda atau bahkan saling bertentangan. Aral keyakinan Turunan dari paradigma adalah keyakinan yang bisa menjadi pendorong atau justru menjadi faktor penghambat kreatifitas. Kreatifitas sering memunculkan output baru yang berlawanan atau bahkan mengalahkan hal lampau, mengalahkan senioritas, mengalahkan pengalaman, atau mengalahkan hirarki. Dalam hal keyakinan yang dianut menabukan inisiatif, mengharuskan penghormatan pada senioritas, hirarki, atau pengalaman misalnya, maka manifestasi kreatifitas umumnya relatif terhambat. Nah, sampai batas mana individu bisa mengelola aral ini, sampai pada batas itulah ia bisa menyediakan ruang kreatifitas bagi dirinya sendiri. Aral ketakutan Barangkali aral kreatifitas yang paling mudah dikenali adalah rasa takut. Aral ini bisa berupa takut diabaikan, takut dicemooh, takut dievaluasi, takut dihakimi, takut dianggap bodoh, takut pada ketidaksempurnaan, takut mencoba, takut ambil risiko, takut ide tidak berjalan seperti yang diharapkan, takut gagal, dll. Salah satu sebab mengapa banyak rapat-rapat kurang maksimal atau kurang kreatif adalah karena masih kuatnya aral ketakutan yang membelenggu para pesertanya. Pendek kata, kebanyakan rasa takut membuat seseorang cenderung enggan mewujudkan potensi dan mengembangkan kreatifitasnya. Aral motivasional Motif sangat mempengaruhi sikap, perilaku, keinginan, atau tindakan-tindakan sengaja lainnya. Tanpa motivasi orang cenderung tidak terdorong dan tidak tergerak untuk meraih sesuatu yang diinginkannya. Padahal kreatifitas sering menuntut satu rangkaian persiapan, pemikiran, pendefinisian persoalan, dan pemecahannya. Semuanya membutuhkan —dalam derajat tertentu— usaha dan kerja keras. Bila motivasi rendah, orang cenderung kurang menyukai kerja keras, kurang tekun, dan enggan memanfaatkan kemampuan kreatifnya untuk memecahkan tantangan. Aral kebiasaan Sebagai perpaduan antara pengetahuan, ketrampilan, dan keinginan, maka kebiasaan pun jelas berpengaruh pada kreatifitas. Orang-orang kreatif umumnya memiliki kebiasaan-kebiasaan yang menstimulasi kreatifitas. Sementara orang-orang yang kurang kreatif juga memiliki kebiasaan-kebiasaan tertentu, yang sayangnya bisa meredam kreatifitas. Misalnya; suka menghindari masalah (bukannya mencari solusi), malas berpikir, menghindari tantangan, menghindari tanggung jawab, menghakimi ide-ide baru, berpuas diri, menghindari hal-hal imajinatif, dll. Dihadapkan pada kebiasaan-kebiasaan maka tantangan kreatifitas tidak ada artinya. Aral sosial Kreatifitas kadang bukan semata aktivitas individual sehingga langsung atau tidak juga dipengaruhi aspek sosial. Situasi sosial tertentu cukup apresiasif dan menghargai kreatifitas dengan layak sehingga bisa lebih memotivasi indvidu-individu untuk produktif dan kreatif. Sementara situasi sosial lainnya relatif kurang apresiasif atau bahkan mengekang. Pendidikan tradisional misalnya, sering dianggap sebagai salah satu produk sosial yang kurang memberi tempat bagi kreatifitas. Aral organisasi Kini organisasi bisnis menempatkan kreatifitas sebagai motor sekaligus bahan bakar inovasi. Sekalipun peran kreatifitas diakui besar, namun banyak organisasi gagal menyediakan lingkungan atau iklim yang kondusif bagi kreatifitas. Organisasi yang konservatif biasanya kurang merangsang kreatifitas. Sebut pula batasan-batasan seperti hirarki, aturan yang tidak fleksibel, ketiadaan wadah bagi ekspresi kreatif, egoisme antar departemen, buruknya komunikasi, atau situasi organisasi yang sangat terpolitisasi. Potensi kreatif individu sering tidak maksimal dalam iklim seperti ini. Aral kepemimpinan Dalam kehidupan sosial dan organisasional, faktor gaya kepemimpinan juga berpengaruh secara signifikan terhadap proses kreatifitas. Jika pemimpin organisasi kurang memberi ruang kebebasan, kurang bisa momotivasi, tidak mampu memberi tantangan, tidak mampu mengelola hasrat kreatif, kurang memberi penghargaan, tidak memberi kepercayaan, tidak mendukung, dan tidak mampu menciptakan lingkungan yang kondusif, maka kreatifitas individu-individu dalam organisasi jelas akan terhambat. Seberapa kreatif individu-individu dalam tim, namun jika tidak didukung oleh kemampuan manajemen kreatif pemimpinnya, hasilnya juga kurang menggembirakan Masih penasaran......baca selengkapnya
7 Kebiasaan Orang Kreatif
7 Kebiasaan Orang Kreatif
Dalam artikel sebelumnya telah dibahas berbagai jenis aral kreatifitas (creativity blocks), baik yang sifatnya internal seperti aral pola pikir, paradigma, keyakinan, ketakutan, motivasional, kebiasaan, atau yang bersifat eksternal seperti aral sosial, organisasi, dan kepemimpinan. Kabar baiknya, para pakar kreatifitas menegaskan bahwa setiap orang memiliki potensi kreatif dan kreatifitas itu sendiri dapat dipelajari dan ditingkatkan.
Memang, faktor-faktor seperti pengetahuan, penguasaan teknik, pengalaman praktis, dan motivasi sangat penting peranannya dalam membuka dan mengembangkan potensi kreatifitas. Namun, tak kalah penting adalah pengembangan kebiasaan-kebiasaan positif yang merangsang cara berpikir atau tindakan kreatif
Kebiasaan adalah tingkah laku yang dijalankan secara konsisten dan berulang-ulang. Sementara kebiasaan kreatif adalah tingkah laku yang dijalankan secara konsisten, yang berakibat pada lahirnya berbagai bentuk output kreatif. Orang kreatif memiliki kebiasaan-kebiasaan positif yang mampu mengeliminir aral kreatifitas, dan ujung-ujungnya adalah mengaktualisasikan potensi kreatif. Begitu melekatnya kebiasaan tersebut sehingga memunculkan karakteristik khusus yang menggambarkan seperti apa orang kreatif itu.
Sesungguhnya, bagi mereka yang merasa dirinya tidak atau kurang kreatif, mengembangkan kebiasaan kreatif menjadi cara yang ampuh untuk mengaktualisasikan potensi atau meningkatkan kreatifitasnya. Nah, kebiasaan-kebiasaan positif apa yang kondusif bagi proses kreatif? Berikut pembahasannya:
1. Bersikap terbuka
Satu kebiasaan utama orang kreatif adalah pada sikapnya yang terbuka terhadap segala macam ide, gagasan, dan pemikiran, mulai dari yang lurus-lurus saja sampai yang tergolong kontroversial. Ini bertolak belakang dengan kecenderungan kebanyakan orang yang hanya menerima hal yang disukai, diinginkan, dan tidak bertentangan dengan dirinya.
Bagi orang kreatif, sesuatu yang lain daripada yang lain, yang baru, yang menantang, yang sekilas nampak tidak masuk akal, yang mengandung misteri, atau segala sesuatu yang begitu mengusik rasa ingin tahunya, merupakan menu menggairahkan yang setiap waktu memenuhi perhatiannya.
Kebiasaan inilah yang mengondisikan pikiran orang-orang kreatif selalu dalam keadaan terbuka, peka, dan siap menerima hal baru. Kebiasaan ini memudahkan mereka beradaptasi dan merespon secara positif (positive thinking) berbagai bentuk perubahan di sekelilingnya. Inilah kelebihan orang-orang kreatif sehingga banyak perubahan, penemuan teknologi baru, atau karya-karya spektakuler yang muncul dari proses kreatif mereka.
Hampir semua perubahan besar dan strategis menuntut pergeseran-pergeseran atau bahkan pembalikan atas paradigma lama. Hanya dengan paradigma yang terbuka saja maka perubahan-perubahan besar bisa terjadi. Dalam dunia pemasaran pun, perubahan-perubahan radikal hanya bisa disuguhkan oleh perusahaan-perusahaan yang memberi peran penting kepada orang-orang kreatif.
2. Berani mencoba
Tak ada yang bisa menandingi keberanian orang-orang kreatif dalam bereksperimen dengan hal-hal baru, asing, atau bahkan yang nampak tidak masuk akal. Sejalan dengan sikapnya yang terbuka dan hasrat ingin tahunya yang besar, orang kreatif selalu mencoba banyak hal baru. Orang kreatif sama saja dengan kebanyakan orang yang memiliki rasa takut terhadap hal-hal tertentu yang tidak sepenuhnya dia kenal. Yang membedakan dia dengan orang kebanyakan hanyalah pada tingkat keberaniannya untuk mencoba.
Dengan mencoba orang kreatif menemukan banyak hal baru, memecahkan teka-teki atau misteri yang membuatnya penasaran, dan tentu saja memuaskan hasrat ingin tahunya yang begitu besar. Pengalaman mencoba adalah sesuatu yang sangat bernilai bagi orang kreatif. Ini membawanya kepada kebiasaan berikutnya yang tak kalah pentingnya; menyukai tantangan.
3. Menyukai tantangan
Jika ditanya hal apa yang bisa begitu menggerakkan orang-orang kreatif menuju karya-karya spektakuler mereka, jangan heran kalau jawabannya adalah tantangan. Orang-orang kreatif adalah para master dalam membangkitkan antusiasme dan motivasi berkreasi, baik dari dalam maupun dari luar. Ia bisa menciptakan tantangan-tantangan pribadi dan merespon secara kuat tantangan dari luar. Tantangan selalu mengusik, mengganggu, bahkan menghantui orang kreatif. Pada saat yang sama, tantangan menjadi sumber energi yang luar biasa yang memacunya untuk berani menghadapi, bahkan mengalahkan tantangan tersebut.
Jadi, tantangan menjadi bagian dari aktualisasi diri orang-orang kreatif. Menyongsong tantangan selalu berarti kesempatan untuk meneguhkan jatidirinya. Sementara menghindari atau melewatkan tantangan selalu berarti mengeroposkan pondasi keyakinan diri dan eksistensinya. Maka jangan heran jika catatan rekor dunia dipenuhi oleh aksi-aksi ekstrim dan spektakuler dari orang-orang kreatif ini.
4. Mengolah
Hati-hati memberi perintah kepada orang kreatif. Jika perintah Anda tidak detail atau tanpa rambu-rambu yang jelas, bisa-bisa Anda jadi gemas dengan cara dia menggocek sana-sini untuk mencapai tujuan sesuai dengan seleranya. Jangan berharap orang kreatif rela membiarkan sesuatu berjalan atau dalam keadaan seperti yang sudah-sudah, apa adanya, biasa-biasa saja, dan memuaskan orang-orang konservatif. Jangan pula heran jika melihatnya sering sibuk menambah, mengurangi, membagi, memperkecil, memperbesar, memadukan, memoles, atau sedang asyik menjungkirbalikkan dalil-dalil konvensional.
Orang-orang kreatif sangat ahli dalam menyiasati berbagai bentuk aral eksternal. Mereka juga cenderung independen dalam melakukan aktivitasnya dan selalu memasukkan roh ‘kepribadiannya’ dalam proses tersebut. Proses kreatif —dan ini cenderung merambah ke segala bentuk proses— bagi orang kreatif berarti proses aktulaisasi diri. Dia selalu tertantang untuk mengolah aspek internal dan eksternal demi mencapai hasil —yang menurut perkiraan dan imajinasinya— lebih baik, bernilai, unik, dan lebih bercita-rasa.
5. Imajinatif
Jika Anda melarang orang-orang kreatif berimajinasi, maka Anda seperti melempar mereka ke tengah-tengah gurun yang panas terik gersang meradang nan kerontang tanpa setetes air pun. Berlebihan! Imajinasi adalah karunia ilahi yang dasyat yang hanya dihadiahkan Tuhan YME kepada mahkluk kesayangannya, yaitu umat manusia. Imajinasi adalah nafasnya kreatifitas. Tanpa imajinasi tidak ada kreatifitas. Dengan imajinasinya orang-orang kreatif mampu menciptakan dunia yang tak terbatasi oleh dimensi waktu; masa lalu, masa kini, masa mendatang, atau masa yang hingga kini belum terdefinisikan.
Orang kreatif terbilang memanjakan imajinasinya, sesuatu yang dia pelajari dari kebiasaan anak-anak dalam masa pertumbuhan mereka. Orang kreatif cenderung terus menyegarkan imajinasinya dengan teknik-teknik, stimulan-stimulan, aktivitas, kebiasaan, bahkan ritual tertentu. Dengan kekuatan imajinasi inilah orang mendapat bahan mentah bagi proses kreatif dan hasil inovatifnya.
6. Menyukai variasi
Orang kreatif kurang menyukai hal-hal yang sifatnya monolitik, monoton, dikotomis, hitam-putih, benar-salah, atau pengkategorian-pengkategorian yang membatasi ekspresi kreatifnya. Sebaliknya mereka terbiasa untuk berpikir alternatif, menyuguhkan pilihan-pilihan, dan variasi.
Bagi orang-orang kreatif, banyak hal terasa begitu cepat membosankan. Namun kebosanan mereka bukanlah kebosanan sederhana, yaitu kebosanan yang pemecahannya tergantung pada sumber-sumber pemenuhan dari luar dirinya. Kebosanan orang kreatif adalah kebosanan yang menantang dan menggerakkan dirinya untuk menemukan hal baru. Caranya? Ya, dengan mendayagunakan sumber-sumber, potensi, dan kemampuan mereka sendiri.
7. Bergairah
Sikap terbuka, keberanian mencoba, suka tantangan, variasi, dan memanjakan imajinasi membuat orang-orang kreatif selalu bergairah dalam segala yang dikerjakannya. Mereka seperti menikmati aliran energi kreatif sehingga nampak begitu terfokus, tak kenal lelah, suka lupa waktu, dan enggan diganggu jika berada dalam zona kreatifnya.
Kebiasaan orang-orang kreatif adalah menikmati dinamika masalah atau selalu mengalahkan tantangan yang dihadapi dengan antusias dan optimis. Ini yang membuat mereka begitu kaya dengan gagasan dan produktif dalam pekerjaannya. Orang kreatif memang selalu nampak segar dan dinamis.
Jangan lupa, kegairahan itu pun menunjukkan kemampuan mereka dalam mengalirkan energi positif pada diri sendiri maupun orang lain. Sebab itulah mereka cenderung menikmati humor, bahkan memanfaatkannya sebagai metode-metode khusus dalam memecahkan masalah. Tak sedikit dari mereka adalah penikmat atau produsen humor yang sejati.
Senin, 15 Februari 2010
JADWAL PELATIHAN
NO
|
NAMA PELATIHAN
|
TEMPAT
|
WAKTU
|
keterangan
|
1
|
BCM (Bermain Cerita dan menyanyi)
|
02-02- 2010
|
||
2
|
Tehnik Cerita
|
Purworejo
|
13-02-2010
|
|
3
|
Tehnik Cerita
|
Bener Purworejo
|
27 Maret 2010
|
|
4
|
BCM
|
Batam
|
10 April 2010
|
|
5
|
Tehnik Cerita
|
Purwakarta
|
17 April 2010/
|
Dalam Konfirmasi
|
6
|
Tehnik Cerita II
|
Purworejo
|
20 Maret 2010
|
|
7
|
||||
8
|
||||
9
|
||||
10
|
Sabtu, 13 Februari 2010
Pelatihan tehnik cerita bersama kak Wuntat
Masih penasaran......baca selengkapnya
Pelatihan Tehnik Cerita
Pelatihan Tehnik Cerita
13-februaruari 2010
bersama kak Wuntat We-Es
MEMAHAMI BERBAGAI ASPEK-ASPEK BERCERITA
Di Inggris konon pernah diadakan penyebaran angket kepada orang-orang dewasa. Kepada mereka ditanyakan pada saat apa mereka benar-benar merasa bahagia di masa kanak-kanak dulu. Jawaban mereka : “Pada saat orang tua mereka membacakan buku atau Cerita” Apabila pertanyaan yang sama diajukan kepada orang-orang dewasa di Indonesia, saya kira jawabannya tak akan jauh berbeda. Bahkan, khusus mengenai cerita, sampai orang sudah dewasapun masih tetap menggemarinya. Tengoklah obrolan kita juga akan semakin ‘renyah’ bila kita saling bercerita dengan penuh semangat. Cerita memang ‘gurih’. Semua orang tak pandak usia, menyukainya ……
Cerita atau dongeng, sih? Lazimnya memang orang lebih banyak mengaitkan dongeng dengan cerita-cerita klasik atau cerita rakyat, atau cerita-cerita fiktif dengan latar cerita yang berbau ‘zaman dahulu kala’. Tidak heran bila ceritanya banyak dimulai dengan kata-kata klasik : pada zaman dahulu kala …., Dulu, disuatu desa…, dan lain-lain. Untuk cerita-cerita rakyat yang sudah sangat terkenal kita biasa mengenalnya sebagai legenda. Sedangkan cerita pengertiannya lebih luas, mencakup segala macam, baik yang ber-setting masa lalu, masa kini, bahkan mungkin masa yang akan datang (cerita futuristik). Cerita juga mencakup kisah-kisah sejarah yang benar-benar pernah terjadi maupun cerita-cerita rekaan, cerita fiktif. Baiklah, agar terasa lebih luas cakupannya, untuk selanjutnya saya akan lebih banyak memakai istilah ‘cerita’ saja.
Bercerita adalah metode kominikasi universal yang sangat berpengaruh kepada jiwa manusia. Bahkan dalam teks kitab sucipun banyak berisi banyak sekali cerita-cerita, sebagai diulang-ulang dengan gaya yang berbeda. Tuhan memang mendidik jiwa manusia menuju keimanan dan kebersihan rohani, dengan mengajak manusia berfikir dan merenung, menghayati dan meresapi pesan-pesan moral yang terdapat dalam kitab suci, Karena Dia adalah dzat yang Maha tahu akan jiwa manusia, mengetuk hati manusia antara lain dengan cerita-cerita. Karena ini adalah metode yang sangat efektif untuk mempengaruhi jiwa manusia. Cerita yang berkesan memang selalu menarik perhatian manusia.
Mengingat begitu besarnya perhatian Tuhan pada metode bercerita ini, tentu terbersit pertanyaan dihati kita, mengapa metode cerita itu efektif sekali ? jawabannya tidak sulit. Pertama, cerita pada umumnya lebih berkesan daripada nasehat murni, sehingga pada umumnya cerita terekam jauh lebih kuat dalam memori manusia. Cerita-cerita yang kita dengar dimasa kecil masih bisa kita ingat secara utuh selama berpuluh-puluh tahun kemudian. Kedua, melalui cerita manuasi diajar untuk mengambil hikmah tanpa merasa digurui. Memang harus diakui, sering kali hati kita tidak merasa nyaman bila harus dikhotbahi dengan segerobak nasehat yang berkepanjangan. Kita malah merasa dongkol. Apalagi bila nasehat itu nadanya cenderung merendahkan harga diri kita.
Uraian diatas menggambarkan bahwa cerita sangat erat kaitannya dengan dunia pendidikan. Konsekwensinya, setiap pendidik yang peduli pada pembentukan kepribadian yang luhur, harus ‘merasa ikut diperintah’ oleh Tuhan untuk banyak-banyak bercerita, sebagaimana Tuhan memerintahkannya kepada para Rasul . Terlebih-lebih bagi para Ibu, yang memang memiliki posisi strategis sebagai kaum pendidik. Saya kira, secara demikian saya berani mengharuskan kepada setiap Ibu untuk belajar bercerita. Penguasaan terhadap keterampilan ini sangat urgen bagi Ibu, terutama dalam menjalankan peran pokoknya sebagai pendidik generasi.
A. Fungsi dan manfaat Cerita
Kedudukan strategis cerita dalam dunia pendidikan, termasuk menurut sudut pandang moralitas, telah tergambar dengan amat jelas diatas. Cerita memang banyak sekali manfaatnya bagi anak-anak. Paling tidak cerita mempunyai beberapa fungsi penting antara lain :
1. Sebagai sarana kontak batin antara pendidik (termasuk orang tuanya) dengan anak didik.
2. Sebagai media untuk menyampaikan pesan-pesan moral atau nilai-nilai ajaran tertentu.
3. Sebagai metode untuk memberikan bekal kepada anak didik agar mampu melakukan proses identifikasi diri maupun identifikasi perbuatan (akhlaq).
4. Sebagai sarana pendidikan emosi (perasaan) anak didik
5. Sebagai sarana pendidikan fantasi/imajinasi/kreativitas (daya cipta) anak didik.
6. Sebagai sarana pendidikan bahasa anak didik
7. Sebagai sarana pendidikan daya pikir an anak didik
8. Sebagai sarana untuk memperkaya pengalaman batin dan khasanah pengetahuan anak didik.
9. Sebagai salah satu metode untuk memberikan terapi pada anak-anak yang mengalami masalah psikologis.
10. Sebagai sarana hiburan dan pencegah kejenuhan.
Melalui cerita-cerita yang baik, sesungguhnya anak-anak tidak hanya memperoleh kesenangan atau hiburan saja, tetapi mendapatkan pendidikan yang jauh lebih luas. Bahkan tidak berlebihan bila dikatakan bahwa cerita ternyata menyentuh berbagai aspek pembentukan kepribadian anak-anak.
Cerita secara faktual erat sekali hubungannya dengan pembentukkan karakter, bukan saja karakter manusia secara individual, tetapi juga karakter manusia dalam sebuah bangsa. Tidak heran bila banyak pakar kebudayaan yang menyatakan bahwa nilai jati diri, karakter dan kepribadian sebuah bangsa, dapat dilihat dari cerita-cerita rakyat yang hidup dibangsa itu. Kalau begitu, jelas bercerita bukanlah sesuatu yang berakibat sederhana. Cerita berpengaruh amat besar dalam jangka panjang, sampai-sampai dikatakan menjadi faktor dominan bagi bangunan karakter manusia disuatu bangsa.
B. Jenis-jenis Cerita
Sebelum seseorang bercerita, ia harus memahami terlebih dahulu jenis cerita apa yang hendak disampaikannya. Memang, cerita banyak sekali macamnya. Tentu saja masing-masing jenis cerita mempunyai karakteristik yang berbeda. Oleh karena itu, agar kita dapat bercerita dengan tepat, kita terlebih dahulu harus menentukan terlebih dahulu jenis ceritanya. Pemilihan jenis cerita antara lain ditentukan oleh :
1. Tingkat usia pendengar
2. Jumlah pendengar
3. Tingkat heterogenitas (keragaman) pendengar
4. Tujuan penyampaian materi
5. Suasana acara
6. Suasana (situasi dan kondisi) pendengar dan sebagainya.
Jenis-jenis cerita dapat dibedakan dari berbagai sudut pandang. Dari sudut pandang itulah kita dapat memilah-milah jenis ceritanya. Dibawah ini akan diuraikan sebuah bagan sederhana mengenai berbagai sudut pandang dan jenis-jenis ceritanya :
1. Berdasarkan Pelakunya
a. Fabel (cerita tentang dunia binatang) dan dunia tumbuhan
b. Dunia benda-benda mati
c. Dunia manusia
d. Campuran/kombinasi
2. Berdasarkan Kejadiannya
a. Cerita sejarah (tarikh)
b. Cerita fiksi (rekaan)
c. Cerita fiksi sejarah
3. Berdasarkan Sifat Waktu Penyajiannya
a. Cerita bersambung
b. Cerita serial
c. Cerita lepas
d. Cerita sisipan
e. Cerita ilustrasi
4. Berdasarkan Sifat dan Jumlah Pendengarnya
a. Cerita Privat
1). Cerita pengantar tidur
2). Cerita lingkaran pribadi (individual atau kelompok sangat kecil)
b. Cerita Kelas
1). Kelas kecil (s.d. ± 20 anak)
2). Kelas besar (s.d. ± 20 - 40 anak)
c. Cerita untuk forum terbuka
5. Berdasarkan Teknik Penyampaiannya
a. Cerita langsung/lepas naskah (direct - story)
b. Membacakan cerita (story-reading)
6. Berdasarkan Pemanfaatan Peraga
a. Bercerita dengan alat peraga
b. Bercerita tanpa alat peraga
Sekali lagi, pemilihan jenis cerita diatas sangat berpengaruh pada teknik penyajiannya. Oleh sebab itu, bila penyajian cerita kita ingin mencapai sasarannya, kita sejak semula harus mempertimbangkannya secara seksama. Sebab, masing-masing jenis cerita membutuhkan teknik, gaya dan pendekatan yang berbeda. Selain itu, pemahaman yang mendalam akan jenis dan karakter pendengar (audience) juga sangat dibutuhkan.
C. Faktor-faktor Pokok Cerita
Untuk mencapai keberhasilan dalam bercerita ada dua faktor pokok yang harus diperhatikan oleh setiap pendidik yang akan bercerita, yaitu :
1. Naskah/skenario atau setidaknya sinopsis (kerangka)
2. Teknik penyajian
Untuk lebih jelasnya kedua faktor pokok diatas dapat diuraikan secara lebih lengkap sebagai berikut :
1. Menyiapkan naskah cerita
a. Dari sumber cerita yang telah ada
Seorang pendidik yang akan bercerita pasti harus menentukan terlebih dahulu gambaran jalan ceritanya. Ia bisa saja mengambil dari buku-buku, majalah atau komik-komik tertentu. Bila langkah ini yang diambil maka dikatakan bahwa pendidik itu menggunakan sumber cerita yang sudah ada. Tentu saja cerita yang dipilih harus sudah dipertimbangkan masak-masak. Apakah cerita itu tepat ? Apakah cerita itu mempunyai bobot dan greget yang kuat ? Apakah cerita itu memberikan ruang gerak yang luas kepada pencerita untuk mengembangkan teknik penyajiannya ? Apakah cerita itu alurnya pas, tidak terlalu singkat dan tidak terlalu panjang ?. Boleh jadi ada naskah cerita yang perlu diperkaya adegannya, perlu diperdalam nilai konfliknya, atau perlu dimodifikasi/diubah ending-nya, dan sebagainya. Nah, bila sudah yakin benar atas pilihan ceritanya, maka seorang pencerita harus melanjutkannya dengan langkah-langkah sebagai berikut : (agar lebih lengkap langkah pertama disebutkan kembali)
1). Memilih naskah cerita yang tepat
2). Mengubah naskah itu, dari naskah dengan bahasa tulis menjadi naskah yang siap dibacakan secara lisan (naskah dengan bahasa lisan). Ingatlah, naskah itu tidak hanya harus bagus untuk dibaca, tetapi harus menarik untuk dibacakan.
3). Membaca naskah baru itu berulang-ulang sehingga pencerita yakin bahwa dirinya benar-benar menguasai alur/plot cerita (Nama-nama tokohnya juga jangan sampai lupa).
4). Menyiapkan bumbu-bumbu cerita, bila perlu tertulis dalam naskah
Untuk jenis cerita langsung (direct story) seorang pencerita yang berpengalamanpun biasanya melakukan prosedur yang sama, meskipun prosedur (2) dan (4) tidak dilakukan secara khusus. ia cukup melakukannya dialam imajinasinya sendiri. Tetapi untuk jenis cerita dengan membaca naskah (story reading) prosedur diatas mutlak diperlukan, terutama bagi pemula. Prosedur. (5) tetap penting untuk pembacaan cerita (story reading) sebab bila pembaca cerita telah setengah hafal, maka ia akan terhindar dari pembacaan cerita yang tersendat-sendat, salah baca, salah interpretasi atas sifat adegan ternyata kurang mendapat respon positif dan pendengarannya, karena pembaca cerita kurang menguasai segi-segi detai dari penyajian cerita tersebut. Untuk menghindari kesalahan interpretasi, sebaliknya naskah cerita diberi tanda-tanda khusus (misalnya digaris bawahi, distrabilo boss, dan sebagainya) atau penulisan naskahnya dirancang mirip naskah drama.
b. Mengarang Cerita Sendiri
Bila seorang pencerita berkehendak untuk membuat naskah sendiri, maka yang terpenting ia harus menentukan terlebih dahulu alur atau plot cerita. Bisa dalam bentuk karangan/bagan alur/plot cerita atau sinopsis, bisa pula tertulis secara lengkap/detail. Bila ditulis secara lengkap, sebagaimana tergambar diatas, harus ditulis dengan gaya bahasa lisan. Selanjutnya prosedurnya relatif sama dengan prosedur diatas. Yang penting alur/plot cerita harus benar dikuasai.
2. Teknis Penyajian
Bila faktor naskah ‘beres’, maka faktor kedua yang akan menentukan berhasil tidaknya seseorang dalam bercerita adalah faktor teknis penyajiannya. Seorang pencerita perlu mengasah keterampilannya dalam bercerita, baik dalam olah vokal, olah gerak, ekspresi dan sebagainya. Seorang pencerita harus pandai-pandai mengembangkan berbagai unsur penyajian cerita sehingga terjadi harmoni yang tepat.
Secara garis besar unsur-unsur penyajian cerita yang harus dikombinasikan secara proporsional adalah sebagai berikut : (1) Narasi (2) Dialog (3) Ekspresi (terutama mimik muka) (4) Visualisasi gerak/Peragaan (acting) (5) Ilustrasi suara, baik suara lazim maupun suara tak lazim (6) Media/alat peraga (bila ada) (7) Teknis ilustrasi lainnya, misalnya lagu, permainan, musik, dan sebagainya.
Untuk mampu menguasai aspek-aspek keterampilan teknis dari unsur penyajian cerita diatas tentu saja membutuhkan persiapan yang baik. Selain itu, keluasan dalam bercerita sehingga berbagai unsur diatas dapat tersaji secara padu hanya dapat dikuasai dengan pengalaman dan latihan-latihan yang tekun.
III
KEMAMPUAN UMUM
A. Totalitas
Apabila kita ingin bercerita dengan baik dan menarik, maka kita membutuhkan totalitas dalam penyampaiannya, karena totalitas merupakan karakter sukses suatu penampilan. Jika kita tampil bercerita tetapi ragu-ragu, malu-malu atau setengah hati, maka akan berlakulah hukum Stimulasi dan Respon, artinya stimulasi pencerita sangat menentukan respon audiens, sebagai contoh jika kita semangat maka respon anak-anak juga akan semangat, namun jika kita kurang antusias maka respon anak-anak dapat dipastikan juga kurang antusias.
Memang totalitas ini sangat dipengaruhi modal dasar kita, yaitu rasa percaya diri, sedangkan rasa percaya diri ini sangat dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman batin seseorang semasa hidupnya, dan secara khusus ditunjang jam terbang dalam bercerita.
Minder merupakan aral totalitas penyampain cerita, sebgaimana diatas ia sangat dipengaruhi pengetahuan dan pengalaman pematangan pribadi, ditambah jam terbang dalam bercerita. Kadang kala kondisi mental seseorang yang sedang dialami, juga menjadi sebab menurunnya kualitas mental seseorang, sehingga tidak dapat tampil secara total, sebagai contoh kondisi stress yang dirasakan seseorang akan menurunkan mood dalam penampilannya. Biasanya hambatan terbesar memang hambatan mental seperti ini, bisa jadi seseorang telah memiliki materi cerita yang baik bahkan unggul, namun cerita tersebut menjadi tidak menarik dinikmati karena penyajian yang tidak menarik, ada baiknya kita selalu melakukan olah batin kita sehingga bukan mood yang menggendalikan kita, tetapi kitalah yang mengendalikan mood tersebut.
Bagaimanakah cara mengantisipasi kegugupan akibat tidak percaya diri tersebut akan kami bahas pada bab tersendiri.
B. Komunikasi dan bahasa
Pada prinsipnya menuturkan cerita yang baik adalah tersampaikannya tujuan dalam bercerita, atau dengan kata lain pesan dari cerita tersebut dapat diterima dengan baik oleh anak-anak. Maka ketrampilan dalm berkomunikasi harus dikuasai oleh sang pencerita, sekaligus ia dapat mengatasi aral komunikasi yang mengakibatkan gagalnya transformasi nilai dan pengetahuan yang merupakan pesan dalam cerita.
Ketrampilan yang dimaksud dalam berkomunikasi adalah
1. Ketrampilan membangun kesan pertama: dengan apa anda akan membangun kesan dan harapan terhadap sajian cerita yang akan anda sampaikan? Apakah melalui ucapan-ucapan yang apresiatif, antusiasme, cara berjalan, keramahan, kelucuan, kostum, kefasihan, atau kejutan yang dapat secara langsung memukau para pendengar? Jangan sampai justru kita melakukan hal-hal yang membuat audiens kurang simpatik, seperti pernyataan tidak siap karena mendadak, masih dalam tahap belajar, penampilan yang kurang pantas, atau mengulang-ulang penyampaian salam dikarenakan kurangnya respon kurang semangat.
2. Membangun Kontak visual: Banyak orang bilang bahwa mata adalah jendela hati, maka apabila kita hendak menguasai hati seseorang, sudah semestinya kita memanfaatkan kontak mata dengan orang tersebut. Secara etika memandang mata secara langsung seringkali terkesan kurang sopan apabila dilakukan dengan sembrono. Maka perlu teknik tersendiri dalam melakukan kontak mata tersebut. Dalam berbagai teori rethorika, dikenal istilah view of bussines, dimana kontak visual kita adalah pada bagian tengah dahi para audiens. Seandainya kita memandang secara langsung, adakalanya mental kita menjadi terganggu, hal ini diakibatkan adanya beberapa tipologi audiens dalam kontak visual dengan kita, yaitu tipe respect/hormat, tipe tidak respect, dan tipe reckless/sembrono.
3. Tipe respect adalah mereka yang antusias, hormat dan tulus dalam mengikuti cerita kita, dari sorot matanya tampak bersahabat, cerah, dan tidak menunjukkan sikap bermusuhan kepada kita, sebaliknya tipe tidak respect menunjukkan sikap apatis bahkan memusuhi, sorot matanya tajam dan menunjukkan sikap tidak menghormati kita. Sedangkan tipe reckless menunjukkan sikap genit, menggoda dan seringkali mencari-cari perhatian lebih dari kita.
4. Membangun kontak batin: Bercerita bukan kegiatan instruksional yang kering dengan komunikasi batiniah antara pencerita dengan audiens, artinya kegiatan ini bukan hubungan antara lisan dengan telinga saja, namun lebih dari itu terdapat motivasi yang menggerakkan sang pencerita untuk menuturkan cerita tersebut agar para audiensnya memahami dan kemudian mau berubah. Karenanya, antara hati dan lisan pencerita harus diselaraskan, bahkan kekuatan ruhani merupakan basis komunikasi tersebut. Cerita tidak baik sekedar menarik atau waton ndagel, namun cerita tersebut adalah sesuatu yang benar-benar menggerakkan hati. Dalam bahasa musikal terdapat istilah entrainment yang dapat diartikan arah gerak atau arah sentuh; apabila ingin merubah pikiran maka dilakukan dengan pikiran (pendekatan kognitif), apabila ingin menggerakkan/menyentuh hati mak haruis dengan hati pula (pendekatan afektif), dan apabila ingin merubah kebiasaan maka dengan pembiasaan pula.(pendekatan habituasi). Apabila spiritualitas dan hati yang menggerakan, mak vibrasinya akan sampai ke ruhani dan hati pendengarnya.
5. Bahasa yang mudah dimengerti: Bahasa yang digunakan dalam bercerita sebaiknya adalah bahasa sederhana dan dapat dimengerti audiensnya (efektif). Apabila kita bercerita dihadapan anak-anak maka kita berbicara yang sesuai dengan bahasa anak-anak dan dari sudut pandang anak. Anak-anak dalam perkembangan daya pikirnya masih sangat didominasi dengan kemampuan berpikir secara kongkrit. Sehingga mereka kurang mampu menangkap makna dari hal-hal yang abstrak, sebagi contoh istilah “Anak yang sholeh” adalah abstrak , lebih baik diganti dengan anak yang rajin sholat, senang mengaji, taat pada ayah ibu serta sering juara. Demikian pula dengan istilah-istilah seperti munafik diganti suka bohong, kafir diganti tidak patuh atau tidak beragama Islam, ghaib diganti tidak terlihat mata, baik hati diganti suka menolong, berduka cita diganti dengan sedih dan menangis, bahagia diganti senang sekali, dan sebagainya. Hindari pula istilah populer yang membuat anak-anak melongo karena ketidak tahuannya yang menjadikan mereka kebingungan seperti istilah modern, globalisasi, riset, relevan, signifikan, statement, pembangunan dan sebagainya.
6. Keterlibatan anak dalam cerita: Suasana hangat dalam bercerita dapat menjadi hangat, apabila kita mampu melibatkan anak dalam cerita tersebut, hal ini dapat dilakukan dengan meminjam nama beberapa anak untuk menjadi nama tokoh-tokoh yang baik dalam cerita tersebut. Namun jangan sekali-kali peminjaman nama tersebut untuk digunakan pada tokoh dalam cerita, yang memiliki personifikasi buruk seperti penjahat, hantu dan binatang buas misalnya. Melakukan jeda dalam cerita juga dilakukan dalam bercerita, hal ini dilakukan apabila durasi cerita ternyata cukup panjang, sehingga membutuhkan stimulasi tertentu yang dapat mempertahankan rentang konsentrasi dan perhatian mereka, sehingga tetap konstan. Hal ini dapat dilakukan dengan bertanya jawab, doa bersama, aktivitas fisik berupa menirukan adegan tertentu dalam cerita tersebut, seperti burung terbang, raungan harimau, teriakan, bergulingan, menembak dan sebagainya.
C. Mimik / Ekspresi
Ekspresi adalah memunculkan susana dan respon emosional melalui kata-kata atau wajah. Cerita akan semakin hidup dan menghanyutkan emosi pendengarnya apabila sang pencerita dapat mengeksplorasi mimik muka dan kata-kata yang memiliki muatan emosional yang kuat, ekspresiasi ini merupakan suatu bentuk penghayatan dalam penceritaan, yang pada gilirannya dapat membantu anak-anak untuk menghayati cerita pula. Seorang pencerita sangat dianjurkan untuk selalu melatih ekspresi senang, bahagia, sedih, murung, puas, histeris, terbahak-bahak dan berbagai bentuk ekspresiasi lainnya. Karena melalui ekspresiasi inilah pematangan kecerdasan emosi dan spiritualnya.
D. Olah Gerak
Diantara karakter kehidupan anak-anak adalah motorik atau banyak bergerak, dengan pengertian mereka tampak lebih dinamis dalam mengeksplorasi otot mereka dibandingkan orang yang lebih dewasa. Maka aksiomanya mereka menyukai pencerita yang atraktif, karena gerak atraktif tersebut merupakan unsur entertaint yang penting dalam penyajian cerita.
Dalam langgam/gaya cerita dikenal ada bebarapa teknik gerak kecil dan gerak besar. Gerakan kecil meliputi keluwesan cara berdiri, gerak tangan, kepala dan tubuh pada saat berdiri (standing) di suatu area panggung (stage), sedangkan gerak besar meliputi eksplorasi zona gerak di panggung dan menirukan adegan yang kompleks seperti cara berjalan, adegan pertarungan silat, adegan perang, terjatuh, tidur atau berlari-lari, ketakutan bahkan eksplorasi zona pendengar. Para pencerita yang mampu mengeksplorasi gerak ini biasanya dapat lebih menarik perhatian anak-anak, semakin piawai melakukannya maka akan semakin menarik pula cerita tersebut, namun kita tetap harus mengingat bahwa dalam bercerita komposisi pendekatan auditif melalui kata-kata lebih dominan dan prioritas dibandingkan pendekatan visual dalam bercerita, agar bercerita tetap merupakan komunikasi dengan bahasa tutur, bukan pentas teather, tarian, monolog atau phanthomin. Apalagi pula bercerita identik dengan upaya mendidikan watak kepribadian, maka boleh saja kita mengeksploarasi gerak, namun tidak sampai mengurbankan citra diri (gezagt) kita sebagai pendidik, dikarenakan ketidak mampuan mengontrol diri dalam melakukan gerakan-gerakan atraktif dalam bercerita.
E. Olah Vokal
Vokal dapat dikatakan baik apabila memiliki kualiats-kualitas berikut ini:
1. Power / tenaga
Power adalah kekuatan suara yang mampu didengar dan menggerakkan anak-anak, power ini berasal dari suatu teknik mengeluarkan vokal secara lepas. Melatih suara agar memiliki kualitas ini dapatdilakukan dengan mengucapkan huruf-huruf vokal (A,I,U,E,O) dengan variasinya secara lepas, dapat juga kombinasikan dengan melatih panjang nafas kita dengan mengucapkan huruf vokal tersebut dengan cara dipanjangkan.
2. Volume / Besar-kecil
Besar kecil suara merupakan kualitas vokal yang penting, karena volume merupakan modal kualitas irama/rhythm suara. Variasi dan kombinasi besar kecil atau lirih keras suara akan membuat penuturan cerita menjadi lebih nikmat.
3. Resonance / Gema
Gema merupakan salah satu kualitas vokal yang cukup menentukan perasaan fun, fresh, dan enjoy dalam mendengarkan cerita. Karena gema di akhir kata-kata ini menimbulkan suasana bersahabat. Karena suara tanpa gema juga terkesang angkuh dan kering. Namun kita perlu untuk mengingat pula, apabila kita menggunakan resonance dalam berbicara tidak boleh terlalu dipanjangkan, karena justru menjadi tidak nyaman didengarkan, dan kita justru terkesan menjadi lebih kekanak-kanak dibandingkan anak-anak. Jadi resonance suara ini kita atur secara proporsional.
4. Rhythm / Irama
Irama yang monoton akan menjadikan cerita kita berakhir su’ul khatimah , karena anak-anak cenderung bosan dan kemudian tidak memperhatikan cerita yang kita sampaikan. Dalam langgam cerita, sebenarnya tidak terikat dengan aturan tinggi, sedang atau rendah suara. Ada baiknya kita membiasakan memvariasikan ketinggian atau rendah suara tersebut secara acak, sehingga irama penuturan menjadi menarik dan penuh kejutan.karena kejutan demi kejutan tersebut akan menimbulkan membuat anak-anak tetap terjaga tingkat perhatiannya kepada kita.
5. Pitch / ketegangan
Terdapat berbagi tipe pita suara, ada yang tebal, tipis dan selainnya.
Biasanya ketegangan pita suara ini sangat dipengaruhi latihan pernafasan kita. Maka para pencerita sangat dianjurkan untuk menyadari strategi yang tepat berdasarkan karakter pita suaranya, untuk kemudian melakukan kontrol ketegangan pita suara agar tidak fals, slip atau pecah.
6. Inflection / Perubahan warna
Suara yang dapat berubah menjadi berbagai warna dan karakter, merupakan salah satu kualitas yang menjadi impian para pencerita, sehingga latihan-latihan vokal lebih diprioritas untuk menguasai kualitas ini. Menurut para pakar bercerita, kemampuan infleksi ini sebenarnya merupakan anugrah tersendiri dari yang maha kuasa, namun kualitas suara yang satu ini dapat dipelajari siapa saja, karena pada dasarnya secara anatomis, umumnya tidak terdapat perbedaan struktur mulut, lidah, gigi dan organ tubuh yang secar kompleks menimbulkan suara manusia.
Paling tidak seorang pencerita memiliki tiga warna suara yang berbeda, yaitu suara kecil, besar dan suara asli. Karena unsur dialog dalam cerita dapat divariasikan dari ketiga suara tersebut. Syukur-syukur dapat meningkatkan kemampuan olah suara ini dengan menirukan suara-suara binatang, kendaraan, alat-alat elektronik, suara tokoh kartun, bahkan dapat mnemukan suara-suara unik yang dapat memperkaya cerita yang disampaikannya. Namun apabila terdapat keterbatasan dalam merubah warna suara ini, jangalah berkecil hati, karena tanpa harus memiliki lisan yang Polyphonic sekalipun, cerita selalu ingin dirindukan anak-anak, percayalah.
7. Speed / kecepatan
Kita perlu lebih bijaksana dalam mengatur kecepatan dalm berbicara, artinya kita perlu untuk proporsional. Berbicara terlalu cepat akan menjadikan anak-anak sulit memahami arti dan maksud dari kata-kata tersebut, sedangkan terlalu lambat menjadikan anak-anak bosan.
8. Cluster / tipe-jenis
Cluster dapat diartikan pengelompokan suara berdasarkan tipe atau jenis suara, dikalangan pria dikenal tipe bass, bariton dan tenor. Sedangkan pada wanita dikenal tipe sopran, mezosopran dan alto. Setiap orang tentunya memiliki suara yang termasuk dalam kategori tersebut, tentu saja hal ini merupakan modal personal yang dapat dioptimalkan secara khas.
9. Clarity-Microphonic / Jernih-merdu
Suara yang jelas dan jernih suara nyaman didengarkan, kemudian pesan yang disampaikan lebih mudah dimengerti pendengarnya. Biasanya kejernihan dan kemerduan suara ini merupakan hasil latihan terus menerus untuk memperhalus suara dan merawat suara dari hal-hal yang menggangu kualitas jernih dan merdu suara ini. Disarankan oleh para ahli vokal menjaga pola konsumsi makanan kita, dari berbagai makanan yang banyak mengandung minyak, terlalu pedas dan banyakl mengandung getah. Demikian pila dengan menjaga kondisi fisik dan psikis dari kelelahan fisik maupun mental.
III
ASPEK KREATIF BERCERITA
Ibarat seorang koki, cita rasa makan tidak saja ditentukan oleh kuallitas harga dan bahan makanan, boleh saja hal itu menentukan, namun yang pasti ada faktor lain yang memperngaruhinya, diantaranya adalah formula dan kemasan yang apik dan artistik, kedua hal inilah yang akan sangat mempengaruhi selera doyan makan konsumennya. Demikian pula dengan cerita, kepiawaian penutur cerita sangat mempengaruhi tingkat doyan dongeng bahkan kerakusan menikmati cerita. Maka dalam tulisan ini tiada salahnya kami menyajikan beberapa aspek kraativitas dalam bercerita, yang kami jumput dari pengalaman teknis bertutur cerita, diantaranya adalah:
A. Teknik Menceritakan Sejarah
B. Teknik Menceritakan Fiksi/rekaan
C. Teknik mengatasi demam panggung
D. Teknik menyatukan perhatian
E. Teknik membuka cerita
F. Teknik menata alur
G. Teknik mencipta konflik.
H. Teknik menutup cerita
A. Teknik menceritakan sejarah
1. Kuasailah alur cerita, adegan, dialog dari sumber bacaanb yang terpercaya. Bila perlu bacalah berulang-ulang hingga benar-benar dikuasai. Ingatlah, penguasaan terhadap pakem cerita amat esensial pada jenis cerita ini, bila tidak terkuasai kita akan terjebak kepada improvisasi yang merusak.
2. Ceritakan kisah sejarah apa adanya, tanpa bumbu-bumbu cerita yang tidak relevan, jangan bumbui kisah perjuangan yamh agung dengan humor, apabila memang dirasa tidak tepat.
3. Usaha untuk membuat cerita lebih menarik biasanya difokuskan pada unsur suspence, ekspresi, penekanan pada adegan-adegan heroik dan dialog yang kuat.
4. Bagian-bagian cerita yang belum saatnya disampaikan pada usia anak tertentu hendaknya disunting secara bijaksana, tanpa mengganggu keutuhan sejarah.usahakanlah agar cerita yang terlalu bercabang-cabang dapat terangkai dalam satu alur yang padu.
5. Sampaikanlah cerita sejarah pada sekelompok anak yang memang belum pernah mendengarkannya, Bila ada anak yang tahu jalan ceritanya, ingatkan sejak awal agar tidak mengganggu teman-temannya dengan dengan memberi komentar dan tebakan-tebakan, Bila tidak tahan untuk memberi komentar ditengah-tengah cerita, ingatkanlah kembali secara bijaksana. Tegurlah bahwa apa yang diucapkannya itu mengganggu kita, namun tetaplah tersenyum ramah.
6. Ajaklah anak didik kita mengambil hikmah dari kisah itu, berikan motivasi untuk meneladani tokoh dan perbuatan yang mulia, ajaklah mereka menjauhi perbuatan yang tercela. Sebaiknya nasehat yang diselipokan ditengah cerita tidak terlalu panjang. Hall ini akan terasa menjengkelkan bagi anak-anak, hikmah sebaiknya disampaikan pada akhir cerita.
B. Teknik Menceritakan Fiksi
1. Satukan perhatian anak
2. Friendship
3. Total : Antusias/bersungguh sungguh
4. Tentukan tujuan dan alur cerita
5. Pilihlah setting awalnya
6. Tentukan tokoh-tokohnya : Protagonis, Antagonis, Tritagonis, Pembantu
7. Munculkan konflik antar tokoh diatas
8. Detailkan cerita/terperinci : Personifikasi tokoh-tokohnya, adegan-adegannya, dialog-dialognya,
9. Dramatisasi/menyangatkan
10. Ilustrasi suara : Lazim, tak lazim
11. Suspence dan Humor
12. Perhatikan situasi dan kondisi
13. Happy ending
C. Kiat-kiat mengatasi demam panggung
Paling tidak terdapat 10 aktivitas mental maupun fisik yang dapat mengatasi taua paling tidak mengurangi gejala nervous/sindrom demam panggung, tips tersebut adalah:
1. Berlatih sebelum tampil: Janganlah menyepelekan berlatih sebelum bercerita, karena bertutur cerita hakekatnya merupakan sebuah skill tersendiri, apabila semakin banyak berlatih maka akan semakin piawai kita melakukannya.
2. Estimasikan hal-hal positif: sebelum tampil, munculkan citra/gambaran yang indah ketika tampil nanti, hal ini akan memupuk jiwa optimis kita, namun apabila kita justry membayangkan hal-hal negatif penampilan cerita yang akan kita lakukan, maka menimbulkan perasaan pesimis , yang pada gilirannya semakin menghambat rasa percaya diri kita.
3. Berprinsip pada Relaksasi; mengendurkan otot kaku yang diakibatkan keadaan emosi yaitu perasaan gugup perlu dilakukan, dengan melakukan stracting/peregangan otot secara sederhana, dapat juga dengan mendengarkan musik yang mmenimbulkan efek relaks.
4. Bernafaslah dalam-dalam untuk menanggulangi keringat dingin.
5. Lecut percaya diri dengan Sugesti: katakan dalam hati kita “Yakin...Pasti bisa...gampang...enteng...pasti berhasil...sukses dam sebagainya akan menjadi suplemen percaya diri yang sangat besar dampaknya.
6. Siapkan “Tim sukses”; seringkali penampilam kita akan terbantu secara psikis apabila ada beberapa teman yang membantu mengendalikan audiens dan menciptakan suasana komunikatif
7. Siapkan alat bantu; bagi sebagian pencerita alat bantu dapat membantu rasa percaya diri, hal ini dikerenakan alat-alat tersebut dapat membantu memusatkan perhatian, tidak hanya kepada pencerita, namun seringkali focus berpindah kepada alat bantu seperti boneka, gambar, wayang, kain dan lain sebagainya.
8. Singkirkan Penghalang mentalmu !; tidak menjadi masalah seandainya pihak-pihak yang membuat kita menjadi grogi, secara asertif kita ,imta untuk menyingkir terlebih dahulu, karena banyak kasus kegagalan dalam bercerita diakibatkan hal ini.
9. Aspirasi sukses, yakin tanpa halangan! Sudah seharusnya kita menyadari, saat kita bercerita tak adasatu pihakpun yang menghendaki kita gagal dalam bercerita, baik anak-anak, para guru, sesama kader, penonton, wali murid semuanya menginginkan kita sukses dalam bercerita, jadi tak ada lasan kita grogi, justru mereka sangat membantu secara batin serta maklum dengan keterbatasan dan proses yang kita jalani.
10. Berdoa; apabila kita meyakini bila mengajar itu mulia, mendidik itu ibadah sertya bercerita itu mencerahkan jiwa, maka sudah pada tempatnya kita berdoa kepada Tuhan pendidik Hati manusia, agar kita dapat berhasil dalam menyajikan cerita.
B. Teknik Menyatukan Perhatian
Bercerita tentu tidak dapat kita sampaikan dengan baik, apabila kondisi atau suasana kelasnya tidak kondusif, maka perlu ada upaya dari kita Untuk membuat anudiens terpusat kepada kita, nah…diantara cara-cara yang telah teruji ampuh Untuk menciptakan focus tersebut adalah:
1. Aneka Kreasi Tepuk tangan: anda pernah mendengar tepuk anak sholeh, tepuk istiqamah, tepuk angin mendayu dan sebagainya? ternyata terdapat berbagai macam kreasi permainan tepuk yang teruji efektif untuk menenangkan dan memusatkan perhatian anak sebelum , saat atau sesudah bercerita.
2. Simulasi kunci mulut: permainan “pura-pura” ini sangat baik untuk menenangkan anak ketika akan memulai cerita
3. Ikrar bersama: rupa-rupa ikrar atau janji sebelum mendengarkan cerita, akan menjadi pengikat perhatian audiens dan menciptakan suasana kondusif dalam mengelola kelas.
4. Lomba : Duduk tenang, menjadi patung
5. Yel-yel : Yel-yel penenang seperti; “Ola la la, ole le le, ayo duduk tenang, suara di simpan “ (anak-anak menirukan) terbukti efektif menenangkan anak.
6. Mendekati anak yang gelisah: saat bercerita sebaiknya kita memperluas panggung cerita kita, dengan berjalan mendekat dan berpindah, hal ini akan berdampak perasaan “dekat”
7. Panthomin/Gerakan/tindakan: Lakukanlah suatau gerakan yang merupakan teka-teki, kemudian audiens diminta menebak gerakan apa., teknik ini sangat dapat lebih luas dikembangkan sebagi penarik perhatian.
8. Aba-aba/instruksi untuk tertib dan tenang serta tidak menggangu.
9. Kesepakatan/ tata tertib cerita; buatlah aturan-aturan dalam mendengarkan cerita, intinya adalah mereka merasa mengikatkan diri untuk taat, tertib, tekun dan tuntas dalam mendengarkan cerita dari guru.
10. Siapkanlah Hadiah bagi pendengar cerita yang baik, serta sampailkan adanya hukuman bagi para penggagu ketika cerita, punishment dan reward ini sudah barang tentu harus disesuaikan dengan audiens.
C. Teknik Membuka Cerita
“Kesan pertama begitu menggoda selanjutnya ….”
Satu kalimat yang mengingatkan kita pada iklan komersial salah satu produk di televisi, hal ini mengingatkan kita betapa pentingnya menciptakan kesan pertam atau membuka suatu cerita dengan teknik-teknik yang menggugah.
Karena membuka cerita merupakan saat yang sangat menentukan maka membutuhkan teknik yang memiliki unsur sugesti dan entertaint yang kuat pengaruhnya, diantaranya dengan 10 tips membuka cerita berikut ini…
1. Pernyataan kesiapan : “Anak-anak hari ini bu Guru telah siapkan sebuah cerita yang sangat menarik…” dst
2. Potongan cerita: “Pernahkah kalian mendengar kisah tentang seorang anak yang terjebak ditengah banjir, kemudian terdampar ditepi pantai…?”
3. Sinopsis: pernahkah anda menyaksikan tayangan singkat di sebuah acara televisi, yang mana didalam tayangan tersebut merupakan sinopsis dari sebuah film atau sinetron yang akan ditayangkan esok hari?” nah..cerita dapat diiklankan seperti sinetron atau film. Contohnya : “Cerita bu Guru hari ini / esok hari adalah cerita tentang “seorang anak kecil pemberani, yang bertempur melawan raja gagah perkasa perkasa ditengah perang yang besar” (kisah nabi Daud) mari kita dengarkan bersama-sama !
4. Munculkan Tokoh atau personifikasi “ dalam cerita kali ini ada 4 orang tokoh penting…yang pertama adalah seorang anak yang jago main karate, ia tak kenal takut dengan siapapun…namanya Adiba, yang kedua adalah seorang ketua gerombolan perampok yang bernama Somad, badannya tinggi besar dan bila tertawa..ih mengeekan karena sangat keras…HA. HA..HA..HA..HA somad ini memiliki golok yang sangat besar, yang ketiga seorang ustadz yang bernama Ustadz Umar, wajahnya bersinar cerah dan menyenangkan dipandang mata...dst”
5. Setting tempat: “disebuah desa yang makmur…”, “dipinggir pantai..” “Ditengah Hutan…” “Ada sebuah kerajaan yang bernama ..” “Disebuah Pesantren…” dll
6. Setting waktu “Jaman dahulu kala…” “Jaman pemerintahan khalifah Usman…” ”Tahun 2045 terjadi sebuah tabrakan komet…” “Pada suatu malam…” “Suatu hari…” dll
7. Emosi : Adegan orang marah, menangis, gembira, berteriak-teriak dll
8. Musik & Nyanyian “Di sebuah negeri angkara murka dimulai cerita…(dinyanyikan), atau ambillah ebuah lagu yang popular, kemudian gantilah syairnya dengan kalimat-kalimat pembuka sebuah cerita.
9. Suara tak Lazim atau “Boom” : anada dapat memulai cerit dengan memunculkan berbagai macam suara seperti; suara ledakan, suara aneka binatang, suara bedug, tembakan dll
10. Musik rap dan acapella :Kalimat pembuka disajikan dikemas dalam lagu rap atau, musik yang muncul dari olah suara dari mulut kita
D. Teknik menata alur cerita
Seringkali alur menjadi salah satu sebab ketidak menarikan cerita yang kita bawakan, terasa monoton dan beku, mungkin kita terbiasa dengan urutan alur cerita yang begitu-begitu saja (stereotype) ada baiknya kita Melepaskan ke-jebakan itu dengan berani melakukan bongkar pasang alur cerita, berikut ini terdapat beberapa opsi penataan alur cerita:
1. ProgresIf : Awal – Tengah - Akhir
2. EpIsodic : Awal – Tengah – Akhir (disajikan secara serial)
3. Flash back / Sorot balik : Akhir – Awal – Tengah – Akhir
Contoh: Ada seorang laleki gagah yang ketakutan karena hampir tenggelam, badannya sudah letih berenang di lautan...”Tolong! tolong! Aku hampir tenggelam” siapakah dia adik-adik? Jawabannya dalah.... 20 tahun sebelumnya ada seorang Raja yang bermimpi mahkotanya ditendang oleh seorang bayi...dialah Firaun/Ramses!)
4. Forshadowing : Awal (bayangan) – Awal – Tengah – Akhir
Contoh: Suatu hari tejadi gempa bumi yang hebat, terdengar suara gemuruh dari tebing yang longsor....orang desa sumbersari mengungsi ke desa seberang....ternyata ada dua anak kak beradi dari desa sumbersari tadi yang tersesat jauh ke hutan saat menyelamatkan diri mereka ...... 20 tahun kemudian .....
5. Cerita berbingkai : didalam cerita terdapat tokoh yang bercerita
E. Memunculkan KonflIk cerita
konflik/masalah yang dihadapi dan menuntut diselesaikan oleh para tokoh dalam cerita merupakan unsur yang penting dan utama, semakin menantang dan unik konflik/masalah tersebut akan audiens semakin tertantang mengikuti cerita tersebut, konflik dalam cerita ini dapat dikreasikan dalam berbagai macam diantaranya:
1. Person against self : seseorang /tokoh protagonais/lakon konflik/melawan keadaan yang ada pad dirinya sendiri, misalnya anak yang tidak penakut berusaha menjadi pemberani, anak yang cacat dan sebagainya.
2. Person against person : tokoh Protagonis melawan tokoh antagonis, biasanya melibatkan tokoh pembantu/tritagonis
3. Person against social : Tokoh protagonis memiliki masalah dengan lawan suatu kelompok
4. Person against nature : seorang tokoh memiliki masalh dengan alam, seperti anak yang tersesat dalam hutam, terjebak dirawa-rawa, selamat dari kecelakaan pesawat yang jatuh di pegunungan dam lain-lain
I. Teknik Menutup Cerita
pada dasarnya cerita adalah metode yang didominasi pendekatan kognitif atau menalar, maka pencerita yang baik dan trampil adalah mereka yang dapat membantu anak bukan hanya terhibur dan menalar cerita, lebih dari itu dapat membantu audiensnya mengendapkan materi kognitif tersebut kedalam jiwa mereka (afektif) bahkan menyentuh ruhani mereka, sehingga terjadi transformasi nilai pengetahuan dan nilai yang tinggi. Yang pada saatnya akan melahirkan pengertian, silap dan perbuatan yang lekat dengan nilai-nilai luhur tersebut.
Hal ini dapat dilakukan dengan cara-cara berikut ini:
1. Tanya jawab: Tanya jawab biasanya berkisar kepada nama tokoh berikut perbuatan baik-buruk yang dilakukan,sehingga teknik ini dianggap kurang dapat menukikkan pesan-pesan yang ada dalam cerita kedalam jiwa audiens.
2. Doa khusus: Teknik ini dapat dilakukan secara pribadi maupun bersama-sama, tentu saja doaisi doatersebiut seputar refleksi dan permohon perubahan sikap dan perilakau lebih baik.
3. Ikrar/Janji untuk berubah menjadi lebih baik
4. Renungan Khusus, dapat berupa membacakan satu ayat suci, hadits, kata mutiara
5. Nyanyian: Tentu saja kita dapat memilih lagu atau nyanyian yang temannya relevan, teknik ini merupakan ending yang indah, serta cukup kuat untuk mengkristalisasikan nikai-niali yang dipelajari selama mendengarkan cerita.
6. Puisi semangat hidup, yang mamiliki kesamaan tema dengan materi cerita
7. Hafalan surat pendek, tentunya yang selaras atau memiliki kesamaan dengan tema cerita
8. Ikrar pro-kontra, audiens di ajak untuk mengikrarkan persetujuannya dan kecintaan pada perbuatan baik yang dilakukan dalam cerita, dan sebaliknya mengikrarkan diri membenci dan tidak akan melakukkan contoh perilaku buruk yang dilakukan tokoh tertentu dalam cerita tersebut.
9. Seandainya aku adalah … maka aku akan…(tokoh protagonis atau antagonis)
10. Role Play:: Ajaklah anak-anak memperagakan sosio drama berdasarkan cerita yang telah didengarkan, hal ini akan lebih menguatkan internalisasi nilai-nilai dalam cerita tersebut
11. Gambar: Menggambarkan salah satu adegan dalam ceritadiatas media kertas.
12. Aku punya pengalaman yang mirip, adakalanya seorang audiens memiliki pengalaman hidup yang mirip dengan cerita kita, maka tiada salahnya apabila kita berikan kesempatan untuk menyampaikan testimoni/kesaksian dihadapan pendengar lainnya, hal ini akan menjadi unsure yang menguatkan internalisasi nilai yang merupakan pesan.
13. Doakan Temanmu ! agar menjadi anak baik seperti tokoh yang baik dan tidak menjadi anak yang buruk seperti dalam cerita, dan seterusnya.
Bercerita memang salah satu bagian dari keterampilan mengajar. Sebagai sebuah keterampilan penguasaannya tidak cukup hanya dengan memahami ilmunya secara teoritik saja. Yang lebih penting dari itu adalah keberanian dan ketekunan dalam mencobanya secara langsung. Itulah sebabnya, latihan-latihan tertentu yang rutin sangat dibutuhkan. Yang jelas, keterampilan teknis bercerita hanya dapat dikembangkan melalui latihan dan pengalaman praktik.
Nah, akhirnya selamat bercerita !
Rabu, 10 Februari 2010
Saat Bulan Sakit
Minggu, 07 Februari 2010
Sabtu, 06 Februari 2010
Agar [prilaku anak jd baik
Agar Perilaku Anak Menjadi Baik
Perilaku anak adalah belajar dari perilaku lingkungan.
Lingkungan yang pengaruhnya besar terhadap perilaku anak terutama: orangtua, saudara sekandung, nenek-kakek, pengasuh, bibi-paman, teman bermain, teman sekolah dan guru.
Perilaku anda (hari ini) akan mempengaruhi perilaku anak di kemudian hari.
Oleh karena itu agar semua anak berperilaku baik, maka setiap hari anda harus berperilaku baik terhadap semua anak (walaupun ia bukan anak anda).
Contoh Perilaku Yang Tidak Baik Terhadap Anak Dan Akibatnya
ü Mendikte, melarang = tidak punya inisiatif
ü Membatasi ide, pendapat, kreasi = tidak kreatif
ü Mencela = menyalahkan diri sendiri, orang lain
ü Mengejek, mengolok-olok, meremehkan = rendah diri, pemalu, melawan
ü Membuatnya ketakutan = mudah cemas
ü Memusuhi = melawan
Contoh Perilaku Yang Baik Terhadap Anak Dan Akibatnya
ü Memberi kesempatan berinisiatif = kreatif
ü Menunjukkan toleransi = sabar, pandai menahan diri
ü Memberi dorongan = percaya diri
ü Memuji = menghargai (anda dan orang lain)
ü Bersikap adil, jujur = menjaga kebenaran, keadilan
ü Memberi rasa aman = mempercayai orang lain
ü Ramah, kasih sayang, hangat è mudah bergaul, membantu, bersahabat
ISLAM KATANYA SESAT...JKATA SANG PENIPU..
nAUDZUBUIILLAH TUH ORANG NULIS GA TANGGUNG JAWAB..YA..TAPI BIARLAH INI TANDANYA UMMAT ISLAM MAU MAJU...INGIN LIHAT SELENGKAPNYA..BLOG YANG GA TANGGUNG JAWAB DI http://beritamuslim.wordpress.comIslam, selalu saja bikin pusing! Muslim paling rajin mengaku bahwa semua dan segala hal yg baik didunia ini terjadi karena Islam. Tapi giliran terjadi kebiadaban atas nama auwloh mereka, mereka akan sibuk kebakaran jenggot, bersikeras menyangkal dan mencuci tangan mereka atas semua dan segala hal yg memalukan mereka.
Bahkan mereka tanpa malu-malu mengaku bahwa semua dan segala hal yg baik yg dikandung AS berasal dari Islam. Malah ada yg berani mengatakan bahwa, “Amerika lebih Islami dibanding negara-negara muslim.” Ketika ditanya, “Kok bisa?” Mereka akan menunjuk pada hal-hal baik ttg orang-orang & tata pemerintahan AS. Seakan, semua yg baik itu adalah produknya Islam. Para islamis selalu mencoba menggunakan formula universal mereka: “RUMAHKU adalah PUNYAKU; RUMAHMU adalah… PUNYAKU JUGA DONG! Tentu saja, tak seorangpun berani bertanya bagaimana, dimana, kapan dan hal-hal baik apa yg pernah terjadi dlm sepanjang sejarah Darul Islam! Mereka tidak mengerti apa yg mereka bicarakan namun paling rajin memaksakan pernyataan-pernyataan rancu mereka kepada kita!